Banyak sekali kebaikan yang bisa dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Salah satu kebaikan yang dapat dilakukan itu ziarah ke kuburnya dan mendoakannya. Pertanyaannya, benarkah ahli kubur tahu siapa saja yang menziarahi kuburnya? Konon pada malam Jumat, ahli kubur berada di kuburnya dan menanti kiriman doa keluarganya. Benarkah demikian? Kemudian, jika ahli kubur mengetahui siapa saja yang menziarahi kuburnya, bolehkah si keluarga atau si peziarah menyampaikan sesuatu atau meminta doa kepada mereka?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini, tentunya kita membutuhkan dalil dan pandangan para ulama, terutama para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Pertanyaan tentang tahu dan tidaknya ahli kubur terhadap orang-orang yang menziarahinya sungguhnya telah terjawab oleh riwayat Al-Baihaqi dalam Kitab Syu‘abul Iman dari Muhammad bin Wasi‘. Ia menyebutkan:
بَلغنِي أَن الْمَوْتَى يعلمُونَ بزوارهم يَوْم الْجُمُعَة وَيَوْما قبله وَيَوْما بعده
Artinya, “Telah sampai kepadaku bahwa orang-orang yang telah meninggal mengetahui orang yang menziarahinya pada hari Jumat, serta satu hari sebelum dan setelahnya.” Hal ini ditegaskan oleh As-Suyuthi sebagaimana riwayat Al-‘Uqaili dari Abu Hurairah. Hal ini malahan pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh seorang sahabat bernama Abu Razin. Tanya Abu Razin, “Wahai Rasul, jika aku mau berjalan lewat kuburan orang-orang meninggal, adakah ucapan yang dapat aku sampaikan ketika melewati mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ucapkanlah olehmu:
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، أَنْتُمْ لَنَا سَلَفٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ
Artinya, ‘Salam keselamatan teruntuk kalian, wahai ahli kubur dari orang-orang muslim dan mukmin. Kalian adalah pendahulu bagi kami. Dan kami adalah pengikut kalian. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian.’” Ditanyakan oleh Abu Razin, “Memangnya mereka mendengar?” “Mereka mendengar, namun tidak bisa menjawab. Hai Abu Razin, tidakkah engkau rida ucapanmu dijawab malaikat sebanyak mereka?” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ditambahkan oleh As-Suyuthi, maksud “Mereka tidak mampu menjawab” di sini adalah menjawab dengan jawaban yang terdengar oleh orang hidup. Artinya, mereka tetap menjawab hanya saja tak terdengar oleh orang yang hidup. (Lihat Syekh ‘Ali bin Sultan Muhammad, Mirqatul Mafatih, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M], jilid IV, halaman 1259). Selanjutnya, perihal keberadaan arwah sejak kematian sampai hari Kiamat, para ulama Ahli Sunnah berbeda pendapat. Pendapat yang mengatakan bahwa pada hari Jumat mereka berada di kuburnya dan menanti kiriman doa keluarganya, mungkin didasarkan pada pendapat al-Yafi‘i sebagaimana dikutip oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi. Ia menyatakan:
فِي مَوضِع آخر مَذْهَب أهل السّنة أَن أَرْوَاح الْمَوْتَى ترد فِي بعض الْأَوْقَات من عليين أَو من سِجِّين إِلَى أَجْسَادهم فِي قُبُورهم عِنْد إِرَادَة الله تَعَالَى وخصوصا لَيْلَة الْجُمُعَة ويجلسون وَيَتَحَدَّثُونَ وينعم أهل النَّعيم ويعذب أهل الْعَذَاب وتختص الْأَرْوَاح دون الأجساد بالنعيم أَو الْعَذَاب مَا دَامَت فِي عليين أَو سِجِّين وَفِي الْقَبْر يشْتَرك الرّوح والجسد
Artinya, Dalam pendapat ulama Ahli Sunnah yang lain disebutkan bahwa pada waktu-waktu tertentu roh orang-orang yang meninggal dikembalikan dari ‘iliyyin atau sijjin ke jasad mereka yang ada dalam kubur ketika Allah berkehendak, dan khususnya pada malam Jumat. Sehingga mereka bisa duduk dan berbincang. Ahli nikmat mendapat nikmat, sedangkan ahli azab akan mendapat siksa. Selama berada di ‘iliyyin atau sijjin, roh tanpa jasad mendapat nikmat atau azab. Sedangkan ketika berada dalam kubur, roh bersama-sama jasad (menerimanya). (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Syarhus Shudur bi Syarhi Halil Mauta wal Kubur, [Beirut, Darul Ma‘rifah: 1996 M], halaman 220). Pendapat Malik bahkan mengatakan, roh itu dilepaskan ke mana saja ia ingin pergi. Ini sejalan dengan riwayat yang menyatakan bahwa terkadang roh itu berada di halaman kuburan. Kemudian menurut riwayat Mujahid, tujuh hari penuh roh itu berada dalam kubur. Terutama pada hari penguburan. Ia dikembalikan ke jasad bukan pada saat ditanya Munkar Nakir saja, sebagaimana hadits sahih riwayat Ibnu ‘Abdil Barr. Dalam riwayat itu, Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ الرَّجُلِ الَّذِي كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا رَدَّ اللَّه عَلَيْهِ روحه حَتَّى يرد عَلَيْهِ السَّلَام
Artinya, “Tidaklah seorang laki-laki melintas ke kuburan laki-laki meninggal yang dikenalinya saat di dunia, kemudian ia mengucap salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan roh kepada (jasad)nya sehingga yang meninggal itu bisa menjawab salam kepadanya.” Jika memperhatikan beberapa pendapat dan juga riwayat di atas, terutama pendapat Malik, keberadaan roh di kuburnya dan menanti kiriman doa setiap malam Jumat dapat dibenarkan. Sebab, pada malam itu, roh dikembalikan. Bahkan menurut An-Nasafi, roh dibebaskan dari azab. Selain malam jumat, roh juga dikembalikan dan dibebaskan pada bulan suci Ramadhan. Tak sampai di situ, dalam riwayat Abu Nu‘aim dari Ibnu Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa siapa saja yang kematiannya bersamaan dengan berakhirnya bulan Ramadhan, maka ia akan masuk surga. (Lihat As-Suyuthi, 1996 M: 306). Lantas bagaimana keberadaan ahli kubur saat diziarahi seseorang? Benarkah mereka bergembira karena diziarahi dan didoakan? Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan riwayat yang menyatakan:
آنس مَا يكون الْمَيِّت فِي قَبره إِذا زَارَهُ من كَانَ يُحِبهُ فِي دَار الدُّنْيَا
Artinya, “Sesenang-senangnya mayat di alam kubur adalah ketika diziarahi oleh orang yang dicintainya semasa di dunia,” (Lihat Irsyadul ‘Ibad, halaman 32). Logika sederhananya, jika orang hidup saja merasa senang saat dikunjung orang yang dicintainya, apalagi orang yang sudah meninggal. Bagaimana tidak, karena orang meninggal sudah berada di negeri yang terasing dari keluarga, saudara, dan kerabatnya. Ketika mereka berziarah, memberi hadiah doa bacaan Al-Quran, atau hadiah sedekah, tentu ahli kubur sangat senang. Oleh karena itu Rasulullah SAW mensyariatkan ziarah, mendoakan mereka agar mendapat rahmat dan ampunan, namun beliau tak memperkenankan untuk menyampaikan sesuatu kepada ahli kubur selain salam dan lantunan doa, meminta sesuatu secara langsung kepadanya, atau minta didoakan kepadanya sebagaimana pandangan ulama ahli hadits.
Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/119244/benarkah-ahli-kubur-mengenali-orang-yang-menziarahinya-