Selasa, 30 Januari 2018

Macam-macam Hadits Dhaif lll

Macam-Macam Hadits Dhaif (3)
(© pinterest)
Sumber: NU Online 
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada dua penyebab utama kedhaifan hadits: rantaian sanadnya tidak bersambung dan perawi haditsnya tidak kredibel. Penyebab perawi hadits tidak kredibel ini ada dua pula: moralitasnya rusak (tidak adil) dan hafalannya tidak kuat.

Pembagian hadits dhaif karena rusaknya moralitas perawi sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, seperti hadits maudhu’, munkar, dan matruk.

Tulisan kali ini akan membahas pembagian hadits dhaif berikutnya, yaitu lantaran lemahnya hafalan perawi. Di antara macam hadits dhaif yang disebabkan oleh lemahnya hafalan perawi adalah maqlub, mudraj, dan muththarib. Penjelasannya berikut ini:

Maqlub
Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Haditsmendefenisikan hadits maqlub dengan kalimat berikut ini:

إبدال لفظ بآخر في سند الحديث أو متنه بتقديم أو تأخير ونحوه

Artinya, “Hadits yang sanad atau matannya berubah karena ada lafal yang mestinya diakhirkan tapi didahulukan, atau yang mestinya di awal tapi diakhirkan.”

Terjadi perubahan dalam sanad ataupun matan hadits disebabkan oleh kurang kuatnya hafalan perawi. Akibatnya, susunan sanad ataupun matan hadits terbolak-balik. Misalnya, dalam sanad hadits nama perawi mestinya Ka’ab bin Murrah, tapi karena hafalan perawi tidak kuat, akhirnya berubah menjadi Murrah bin Ka’ab.

Perubahan itu tidak hanya terjadi pada sanad, dalam beberapa kasus juga terjadi pada matan hadits. Misalnya, dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah disebutkan bahwa ada tujuh kelompok yang mendapatkan naungan di hari akhirat kelak, di antaranya:

رجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله

Artinya, “Orang yang tidak ria ketika bersedekah, sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kirinya.”

Sementara dalam riwayat lain, sebagian rawi meriwayatkan hadits di atas dengan redaksi yang terbalik, meskipun substansi hadits pada hakikatnya tidak berubah. Redaksi lain berbunyi:

حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

Artinya, “Tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”

Mengubah atau membolak-balik susunan hadits, baik matan ataupun sanadnya, jelas tidak boleh. Namun dalam beberapa kondisi dibolehkan, seperti yang dijelaskan Mahmud Thahan, khususnya pada saat menguji hafalan perawi atau karena perawi itu lupa dengan catatan kesalahannya tidak fatal. Kalau kesalahannya fatal, maka termasuk ke dalam hadits dhaif yang tidak bisa diamalkan.

Mudraj
Hadits kategori Mudraj ialah:

ما غير سياق اسناده أو أدخل في متنه ما ليس منه بلا فصل

Artinya, “Hadits yang susunan sanadnya berubah atau di dalam matannya ditemukan tambahan yang sebetulnya bukan bagian dari matan hadits, tanpa ada pemisah.”

Mudraj berati hadits yang di dalamnya terdapat tambahan atau sisipan dari perawi yang sebenarnya bukan bagian dari hadits. Misalnya, Abu Hurairah meriwayatkan:

أسبغوا الوضوء، ويل للاعقاب من النار

Artinya, “Sempurnakan wudhu, celakalah mata kaki dari api neraka.”

Redaksi “أسبغوا الوضوء” pada hadits di atas bukanlah bagian dari perkataan Nabi, tetapi perkataan Abu Hurairah. Menurut Mahmud Thahan, menambahkan kata atau kalimat dalam hadits hukumnya diharamkan, kecuali kalau tujuannya untuk menjelaskan kalimat yang asing atau tidak jelas maknanya.

Mudhtharib
Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Haditsmenjelaskan, hadits Mudhtharib adalah sebagai berikut:

ما روي على أوجه مختلفة متساوية في القوة

Artinya, “Hadits yang memiliki varian riwayat dan kualitasnya sama.”

Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan dari berbagai macam jalur periwayatan, maknanya saling kontradiksi, dan tidak bisa dikuatkan salah satunya karena kualitasnya sama.

Kontradiksi periwayatan itu bisa terjadi pada satu orang ataupun kelompok. Bisa jadi satu orang meriwayatkan beberapa hadits dengan tema yang sama, tetapi saling kontradiksi, atau sebagian perawi bertentangan riwayatnya dengan perawi yang lain.

Dikarenakan tidak bisa ditarjih ataupun dikompromikan, keseluruhan riwayat tersebut tidak diamalkan, kecuali kalau ditemukan solusinya. Wallahu a’lam

Macam-macam Hadits Dhaif ll

Macam-Macam Hadits Dhaif (2)
Sumber: NU Online
Penyebab hadits ditolak atau tidak bisa diterima ada dua: sanadnya tidak bersambung dan di dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang bermasalah. Pembagian hadits dhaif dilihat dari terputusnya sanad sudah dibahas pada tulisan sebelumnya. Sebab itu, tulisan ini difokuskan pada penyebab kedua, perawi bermasalah.

Masalah perawi hadits biasanya terkait dengan dua aspek: ‘adalah dan dhabt. ‘Adalah berkaitan dengan moralitas atau integritas, sementara dhabt berkaitan dengan kekuatan hafalan.

Sebagaimana dijelaskan Mahmud Thahan dalam Taisiru Mustalahil Hadits, penyebab rusaknya ‘adalah seorang perawi karena suka berbohong, fasik atau pelaku maksiat, melakukan bid’ah tercela, dan lain-lain. Sementara penyebab rusaknya dhabt adalah karena sering lupa, hafalannya tidak bagus, sering salah, dan berbeda dengan orang yang lebih kuat hafalannya.

Berdasarkan penyebab di atas, ulama hadits membagi hadits dhaif menjadi beberapa macam. Di antara pembagiannya sebagai berikut:

Maudhu
Maudhu’ termasuk hadits yang paling parah kedhaifannya, bahkan sebetulnya maudhu’ bukanlah hadits karena tidak termasuk dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul. Sebab itu, sebagian ulama tidak memasukkan maudhu’ sebagai kategori hadits dhaif.

Dalam musthalah hadits, maudhu’ berati:

هو الكذب المختلق المصنوع المنسوب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Berita bohong yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah.”

Contoh hadits maudhu’ ialah hadits yang dibuat Muhammad bin Sa’id As-Syami. Dia mengatakan bahwa Humaid meriwayatkan hadits dari Anas, kemudian dari Rasulullah yang berkata:

أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي إلا أن يشأ الله

Artinya, “Aku penutup para Nabi. Tidak ada Nabi setelahku, kecuali bila Allah menghendaki.”

Pernyataan di atas bukanlah perkataan Rasulullah, tetapi perkataan yang dibuat Muhammad bin Sa’id. Ini termasuk contoh hadits maudhu’ dan tidak boleh disebarluaskan kecuali dibarengi dengan penjelasan status haditsnya.

Matruk
Matruk ialah:

هو الحديث الذي في اسناده راو متهم بالكذب

Artinya, “Hadits yang terdapat di dalam sanadnya rawi yang terduga kuat berdusta.”

Mahmud Thahan menjelaskan, perawi hadits diduga kuat berdusta karena dua alasan: pertama, hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali darinya dan bertentangan dengan kaidah umum atau prinsip umum beragama; Kedua, di dalam sanad hadits ditemukan seorang perawi yang dalam kehidupan sehari-harinya suka berbohong.

Cara mengetahui perawi hadits berdusta atau tidak adalah dengan merujuk kitab biografi perawi hadits yang sudah didokumentasikan oleh ulama hadits. Kitab biografi tersebut menjelaskan nama lengkap perawi, guru dan muridnya, biografi kehidupannya, termasuk kredibilitas dan kekuatan hafalannya. Di antara buku biografi perawi hadits yang populer adalah Siyar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi, Al-Jarhu wat Ta’dil karya Abu Hatim Ar-Razi, dan lain-lain.

Munkar
Ulama tidak satu suara dalam mendefenisikan hadits munkar. Ada banyak defenisi hadits munkar, tetapi yang paling populer ada dua defenisi:

هو الحديث الذي في اسناده راو فحش غلطه أو كثرت غفلته أو ظهر فسقه

Artinya, “Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang sering salah atau suka lupa, dan tampak kefasikannya.”

Ada juga yang mendefenisikan dengan:

هو ما رواه الضعيف مخالفا لما رواه الثقة

Artinya, “Hadits yang diriwayatkan perawi dhaif bertentangan dengan perawi yang tsiqah.”

Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sering lupa, sering melakukan kesalahan, dan berbuat fasik terang-terangan. Akibatnya, hadits yang diriwayatkannya itu bertentangan dengan perawi yang tsiqah (kredibel).

Ketiga macam hadits dhaif di atas: maudhu’, matruk, dan munkar termasuk tingkatan hadits dhaif yang paling parah. Artinya, tidak boleh dijadikan landasan dalam beramal, meskipun untuk fadhail a’mal, keutamaan amal ibadah tertentu untuk motivasi. Wallahu a’lam

Macam-macam Hadits Dhaif l

Macam-macam Hadits Dhaif (1)
(via wejdan.org)
Sumber: NU Online
Hadits dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Ada banyak penyebab hadits dhaif, namun dari keseluruhan penyebab itu dapat disimpulkan menjadi dua sebab. Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Haditsmenjelaskan:

أما أسباب رد الحديث فكثيرة، لكنها ترجع بالجملة إلى أحد سببين رئيسين هما: سقط من الإسناد وطعن في الراوي

Artinya, “Penyebab hadits ditolak atau tidak bisa diterima ada banyak. Namun keseluruhannya merujuk pada dua sebab: sanadnya tidak bersambung dan di dalam rangkaian sanadnya terdapat rawi bermasalah.”

Ada dua penyebab utama hadits dhaif: keterputusan sanad dan perawinya bermasalah. Masing-masing penyebab itu dirinci lagi oleh para ulama sehingga pembagian hadits dhaif menjadi semakin banyak.

Mahmud Thahan menjelaskan, dilihat dari keterputusan sanad, hadits dhaif dapat dibagi menjadi enam macam: muallaq, mursal, mu’dhal, munqati’, mudallas, dan mursal khafi. Berikut penjelasannya:

Muallaq
Muallaq adalah setiap hadits yang tidak disebutkan rangkaian sanadnya dari awal sanad, baik satu orang rawi yang tidak disebutkan, dua rawi, maupun lebih. Yang terpenting, perawi hadits tidak disebutkan dari awal sanad.

المعلق هو ما حذف من مبدأ إسناده راو فأكثر على التوالي

Artinya, “Muallaq ialah hadits yang dihilangkan perawinya dari awal sanad, baik satu orang ataupun lebih secara berturut-turut.”
Misalnya, bila seseorang mengatakan “Rasulullah berkata” atau “Dari Sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata” tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya dari awal, maka hadits tersebut dinamakan hadits mu’allaq.

Mursal
Mursal berarti:

ما سقط من آخر اسناده من بعد التابعي

Artinya, “Hadits yang dihilangkan perawi setelah thabi’in (sahabat) dari akhir sanadnya.”

Maksudnya hadits yang tidak disebutkan nama sahabat dalam rangkaian sanadnya. Periwayatan hadits pasti melalui sahabat, karena tidak mungkin tabi’in bertemu Rasulullah langsung. Bila ada hadits yang tidak menyebutkan sahabat dalam rangkaian sanadnya, dari tabi’in langsung lompat kepada Rasulullah, maka hadits itu bermasalah.

Misalnya, Imam Muslim bin Hajjaj pernah meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Rafi’, dari Hujain, dari Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Musayyab, bahwa Rasulullah pernah melarang jual beli dengan cara muzabanah, yaitu jual beli tanpa takaran. Redaksi haditsnya sebagai berikut:

عن سعيد ابن المسيب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزابنة

Artinya, “Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Rasulullah SAW melarang jual  beli dengan cara muzabanah.”

Ulama menghukumi hadits di atas dengan mursal karena Sa’id bin Musayyab adalah seorang tabi‘in yang tidak mungkin bertemu Rasulullah SAW. Pasti Sa’id bin Musayyab mendengar hadits itu dari sahabat. Tetapi dalam rangkaian sanad hadits di atas tidak disebutkan nama sahabat yang menjadi perantara antara Sa’id bin Musayyab dan Rasulullah.

Mu’dhal
Mu’dhal berarti:

ما سقط من إسناده  اثنان فأكثر على التوالي

Artinya, “Hadits yang dalam rangkaian sanadnya terdapat dua perawi yang dihilangkan secara berturut-turut.”

Maksudnya, dalam rangkaian sanad ada dua perawi yang dihilangkan, syaratnya harus berturut-turut. Kalau tidak berturut-turut, misalnya di awal sanadnya ada perawi yang hilang, kemudian satu lagi di akhir sanad, maka ini tidak bisa dinamakan hadits mu’dhal.

Munqathi’
Munqathi’ berarti:

ما لم يتصل إسناده على أي وجه كان انقطاعه

Artinya, “Hadits yang rangkaian sanadnya terputus di manapun terputusnya.”

Persyaratan hadits munqathi’ lebih longgar daripada sebelumnya. Hadits munqathi’ tidak mensyaratkan harus berturut-turut atau jumlah perawi yang hilang ditentukan, selama ada dalam rangkaian sanad itu rawi yang hilang atau tidak disebutkan, baik di awal, pertengahan, maupun akhir sanad, maka hadits itu disebut munqathi’.

Mudallas
Ulama membagi dua macam hadits mudallas: tadlis isnad dan tadlis syuyukh.

Tadlis Isnad adalah:

أن يروي الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر أنه سمعه منه

Artinya, “Perawi hadits meriwayatkan hadits dari gurunya, tetapi hadits yang dia sampaikan itu tidak didengar langsung dari gurunya tanpa menjelaskan bahwa dia mendengar hadits darinya.”

Maksudnya, seorang rawi mendapatkan hadits dari orang lain, tetapi dia meriwayatkan dengan mengatasnamakan gurunya, di mana sebagian hadits dia terima dari gurunya tersebut. Padahal untuk kasus hadits itu dia tidak mendengar dari gurunya, tetapi dari orang lain.

Tadlis Syuyukh adalah:

أن يروي الراوي عن شيخ حديثا سمعه منه، فيسميه أو يكنيه أو ينسبه أو يصفه بما لا يعرف به كي لا يعرف

Artinya, “Seorang perawi meriwayatkan hadits yang didengar dari gurunya, tetapi dia menyebut gurunya tersebut dengan julukan yang tidak populer, tujuannya supaya tidak dikenal orang lain.”

Perawi sengaja menyebut gurunya dengan nama atau gelar yang tidak populer supaya orang lain tidak tahu siapa guru sebenarnya. Karena kalau disebut nama asli gurunya, bisa jadi guru perawi itu tidak tsiqah(dipercaya) dan haditsnya nanti menjadi bermasalah. Untuk menutupi kekurangan itu, dia mengelabui orang dengan menyebut nama yang tidak populer untuk gurunya.

Mursal Khafi
Mursal khafi berarti:

أن يروي عمن لقيه أو عاصره مالم يسمع منه بلفظ يحتمل السماع وغيره

Artinya, “Perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa dengannya, tetapi sebenarnya dia tidak mendengar hadits itu darinya, dia sendiri meriwayatkannya dengan redaksi sima’ (seolah-olah dia mendengar langsung).”

Maksudnya, perawi menerima hadits dari orang yang semasa dengannya dan dia bertemu langsung dengan orang tersebut, namun sebenarnya dia tidak mendengar langsung hadits itu dari orang yang semasa dengannya. Namun persoalannya, dia meriwayatkan hadits seolah-olah dia mendengar langsung, padahal tidak seperti itu. Ini disebut dengan hadits mursal khafi, hukumnya dhaif. Wallahu a’lam

Khutbah Gerhana Bulan: Meresapi Hakikat Fenomena Alam

Khutbah Gerhana Bulan: Meresapi Hakikat Fenomena Alam
Sumber: NU Online
Khutbah I

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَاخْتِلَافَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَمِنْ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا۟ لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَٱسْجُدُوا۟ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ 

Jamaah shalat gerhana bulan as‘adakumullah,

Setiap orang di antara kita barangkali sudah mengimani bahwa seluruh keberadaan alam semesta ini diciptakan oleh Allah subhânahu wata‘âlâ. Gunung, laut, rerumputan, binatang, udara, benda-benda langit, jin, manusia, hingga seluruh detail organ dan sel-sel di dalamnya tidak luput dari penguasaan dan pengaturan Allah. Tak satu pun makluk lepas dari sunnatullah. Inilah makna Allah sebagai Rabbul ‘âlamîn, pemilik sekaligus penguasa dari seluruh keberadaan; al-Khâliqu kulla syaî’, pencipta segala sesuatu. Apa saja dan siapa saja. Namun, apakah nilai lebih selanjutnya setelah kita mempercayai itu semua?

Allah menciptakan segala sesuatu tak lain sebagai ayat atau tanda akan beradaan-Nya. Dalam khazanah Islam lazim kita dengar istilah ayat qauliyyah dan ayat kauniyyah. Yang pertama merujuk pada ayat-ayat berupa firman Allah (Al-Qur’an), sedangkan yang kedua mengacu pada ayat berupa ciptaan secara umum, mulai dari semesta benda-benda langit sampai diri manusia sendiri.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ 

“Kami (Allah) akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri….” (QS Fushshilat [41]:53 )

Tanda (ayat) tetap akan selalu berposisi sebagaimana tanda. Ia medium atau perantara untuk mencapai sesuatu. Kita bisa tahu udara sedang bertiup ke arah utara ketika kita menyaksikan daun pepohonan sedang bergerak ke arah utara. Kita bisa tahu dari kejauhan sedang terjadi kebakaran saat menyaksikan kepulan asap membumbung ke udara. Dalam konteks ini, fenomena daun bergerak dan membumbungnya asap hanyalah perantara bagi yang melihatnya tentang apa yang berada di baliknya, yakni udara dan api.

Dalam skala yang lebih besar dan lebih hakiki, fenomena pergerakan benda-benda langit yang demikian tertib, agung, dan menakjubkan adalah tanda akan hadirnya Dzat dengan kekuasaan yang tak mungkin tertandingi oleh apa pun dan siapa pun. Dialah Allah subhânahu wata‘âlâ.

Dengan demikian, fenomena gerhana bulan yang kita saksikan saat ini pun seyogianya kita posisikan tak lebih dari ayat. Kita patut bersyukur mendapat kesempatan melewati momen-momen indah tersebut. Selain menikmati keindahan dan mengagumi gerhana bulan, cara bersyukur paling sejati adalah meresapi kehadiran Allah di balik peristiwa alam ini.

Jamaah shalat gerhana bulan as‘adakumullah,

Jika kita sering mendengar anjuran untuk mengucapkan tasbih “subhânallâh” (Mahasuci Allah) kala berdecak kagum, maka sesungguhnya itu manifestasi dari ajaran bahwa segala sesuatu—bahkan yang menakjubkan sekalipun—harus dikembalikan pada keagungan dan kekuasaan Allah. Kita dianjurkan untuk seketika mengingat Allah dan menyucikannya dari godaan keindahan lain selain Dia. Bahkan, Allah sendiri mengungkapkan bahwa tiap sesuatu di langit dan di bumi telah bertasbih tanpa henti sebagai bentuk ketundukan kepada-Nya.

Dalam Suarat al-Hadid ayat 1 disebutkan:

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sementara dalam Surat al-Isra ayat 44 dinyatakan:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Jamaah shalat gerhana bulan as‘adakumullah,

Apa konsekuensi lanjutan saat kita mengimani, menyucikan, serta mengagungkan Allah? Tidak lain adalah berintrospeksi betapa lemah dan rendah diri ini di hadapan Allah. Artinya, meningkatnya pengagungan kepada Allah berbanding lurus dengan menurunnya sikap takabur, angkuh atas kelebihan-kelebihan diri, termasuk bila itu prestasi ibadah. Yang diingat adalah ketakberdayaan diri, sehingga memunculkan sikap merasa bersalah dan bergairah untuk memperbanyak istighfar.

Dalam momen gerhana bulan ini pula kita dianjurkan untuk menyujudkan seluruh kebanggaan dan keagungan di luar Allah, sebab pada hakikatnya semuanya hanyalah tanda.

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,” (QS Fushilat [41]: 37).

Dalam tataran praktis, ada yang memaknai perintah sujud pada ayat tersebut sebagai perintah untuk melaksanakan shalat gerhana sebagaimana yang kita lakukan pada malam hari ini.  Momen gerhana bulan juga menjadi wahana tepat untuk memperbanyak permohonan ampun, tobat, kembali kepada Allah sebagai muasal dan muara segala keberadaan.

Semoga fenomena gerhana bulan kali ini meningkatkan kedekatan kita kepada Allah subhânahu wata‘âlâ, membesarkan hati kita untuk ikhlas menolong sesama, serta menjaga kita untuk selalu ramah terhadap alam sekitar kita. Wallahu a’lam.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Khutbah II


اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Biografi KH Ahmad Abdul Haq Watucongol



Sumber: Santri Kanzus

Mbah Mad adalah salah seorang kiai yang cukup disegani banyak kalangan lintas golongan, para ulama dan pejabat. Sejak kecil, ia dikenal memiliki ilmu yang tidak dimiliki para kiai pada umumnya.
Salah seorang putra (alm) KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Mbah Mad), KH Agus Aly Qayshar, menceritakan, bahwa salah satu kelebihan Mbah Mad yang dimiliki sejak kecil adalah mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Yang pada awalnya, makam seseorang itu dianggap biasa oleh masyarakat, justru Mbah Mad memberi tahu kalau itu makam seorang wali. Kelebihan ini merupakan warisan dari abahnya, Mbah Dalhar.

Mbah Mad adalah seorang ulama yang cukup berpengaruh, terutama di wilayah Magelang. Di mata para kiai dan umatnya, kharisma Mbah Mad sangat tinggi, di samping karena salah seorang kiai sepuh di kalangan warga NU saat itu.
Sebelum wafat, ia menjadi pengasuh keempat Pondok Pesantren Darussalam Watucongol, Gunungpring, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh kakek buyutnya yakni Kiai Abdurrauf bin Hasan Tuqa, pada tahun 1820. Pesantren ini juga pernah ditempati Muktamar NU ke-14, pada tahun 1939.

Silsilah Keturunan
Bulan kelahiran Mbah Mad belum diketahui secara pasti. Hanya yang pasti ia lahir pada hari Ahad Kliwon, sekitar tahun 1928. Ayahnya adalah Kiai Dalhar (Mbah Dalhar) yang merupakan kiai kharismatik sekaligus waliyullah.
Kiai Abdurrauf adalah salah seorang senapati perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqa sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Karena itu, sebagai keturunan raja Kiai Hasan Tuqa juga memiliki nama sebutan lain, yaitu Raden Bagus Kemuning.

Tempat Doa Restu Pejabat
Mbah Mad dikenal sebagai tokoh spiritual yang cukup disegani hampir semua kalangan, dari masyarakat bawah hingga ulama dan tokoh nasional lainnya karena kharisma dan kewalian yang dipercayai masyarakat.
Bahkan, ia sering disowani seseorang yang akan maju menjadi pejabat. Mereka biasanya sowan dulu ke Mbah Mad untuk minta doa restu. Bukan hanya itu, tokoh-tokoh nasional dan pejabat negara juga sering berkunjung untuk meminta nasihat kepadanya. Tercatat misalnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Jusuf Kalla, Wiranto, Akbar Tanjung dan tokoh-tokoh lainnya tercatat pernah bersilaturrahim ke Mbah Mad. Susilo Bambang Yudhoyono semasa masih aktif dinas di kemiliteran dengan pangkat kapten juga pernah datang kepada Mbah Mad.
Mbah Mad merupakan sosok kiai yang memiliki sikap yang luwes. Pergaulannya cukup luas, tanpa memandang perbedaan agama, aliran dan perbedaan lainnya. Wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Ketua Paguyuban Umat Beragama Kabupaten Magelang yang anggotanya adalah dari kalangan pemuka lintas agama.
Abah Dalhar, abahnya Mbah Mad, dikenal sebagai mursyid Thariqah Assyadziliyyah. Sebelum wafat, Mbah Dalhar menurunkan ijazah kemursyidannya kepada Mbah Mad, di samping kepada Kiai Iskandar Salatiga dan KH Dimyati Banten.
Mbah Mad memiliki sedikitnya tiga ribu jamaah yang tersebar di berbagai daerah khususnya di wilayah eks-Karesidenan Kedu (Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen).

Berjuang Tak Mengenal Waktu
Mbah Mad tidak sekadar menyampaikan ajaran agama dan ibadah, tetapi juga olah jiwa terutama kepada putra-putri serta para santrinya. Meninggalkan tidur malam adalah juga bagian dari riyadah Mbah Mad. Dituturkan Gus Ali – Panggilan KH Agus Aly Qayshar – salah satu riyadah yang dijalankan Mbah Mad adalah melek malam. Di samping itu, ia sangat tekun melakukan ziarah ke beberapa makan auliya dan ulama. Riyadah melekan ini ia jalani sejak kecil hingga menjelang wafat.
Ia juga dikenal memiliki kelebihan dari sisi ilmu dibanding kiai pada umumnya. Misalnya, ia bisa mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui orang sekitar. Bahkan kelebihan ini terlihat sejak dia kecil.
Mbah Mad juga diyakini memiliki ilmu laduni. Pasalnya, ia tidak pernah mondok. Meski pernah mondok di Pesantren Al-Wahdah Lasem yang saat itu diasuh KH Baidlawi, namun, ia hanya bertahan tidak lebih dari seminggu. “Abah lebih banyak berguru langsung ke pada abahnya sendiri,” terang Gus Ali.
Sepanjang perjalanan hidupnya dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat. Dalam mengemban tugas mulia mengajarkan ajaran-ajaran syar’i. Mbah Mad seolah tidak mengenal tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan di tempat yang sukar dilalui kendaraan, ia tetap bersedia dengan berjalan kaki.
Menurut Gus Ali. Mbah Mad sering berpesan kepada putra-putrinya agar selalu menghormati tamu, tidak meremehkan pejabat, serta menyapa kepada semua siapa pun tanpa melihat status sosial maupun agamanya.
Mbah Mad memiliki tiga istri yakni Hajah Jamilah (almarhum), Hajah Istianah (almarhum). dan Hajah Khafshah. Dari pernikahannya, dia dikaruniai 9 anak. yang dua di antaranya sudah meninggal dunia. Cucunya ada 32 orang dan 10 cicit.
Mbah Mad menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Harapan Kota Magelang, pagi sekitar pukul 05.50 WIB, Kamis, 8 Juli 2010 lalu.
Hadir dalam acara pemberangkatan jenazah di antaranya KH Maimun Zubair dari Sarang, KH Hamid Baidlawi (Rembang), Drs H Lukman Saifuddin Zuhri (Wakil Ketua MPR RI), Bupati Magelang Ir H Singgih Sanyoto, Bupati Wonosobo, Walikota Magelang, Ketua DPRD Kabupaten dan Kota magelang serta para kyai lainya

Senin, 29 Januari 2018

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan dalam Empat Madhzab

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan dalam Empat Madhzab
(© reuters)
Sumber: NU Online
Pertanyaan
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, shalat gerhana matahari terdiri dua rakaat dengan dua Surat Al-Fatihah dan dua rukuk pada setiap rakaat. Tetapi bagaimana dengan cara shalat gerhana bulan, apakah praktiknya sama dengan gerhana matahari atau berbeda? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdurrauf/Pidie).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana diketahui bahwa gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan fenomena alam yang menjadi tanda kebesaran Allah SWT.

Dalam pada itu Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk shalat dua rakaat dengan dua Surat Al-Fatihah dan dua rukuk pada setiap rakaat dan disusul dengan dua khutbah. Untuk shalat gerhana matahari, ulama menyepakati hal ini sebagai tata caranya karena memang Rasulullah SAW mencontohkan demikian. Sampai di sini tidak ada masalah.
Adapun terkait cara shalat gerhana bulan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menganalogikan cara shalat gerhana bulan dengan cara shalat gerhana matahari. Sementara ulama lain menyatakan bahwa cara shalat gerhana bulan sama saja dengan cara shalat sunah lainnya, cukup dikerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing.

Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maramsebagai berikut:
أما خسوف القمر فقالت الشافعية والحنابلة هي ركعتان في كل ركعة؛ ركوعان كصلاة كسوف الشمس في جماعة. وقالت الحنفية صلاة الخسوف ركعتان بركوع واحد كبقية النوافل وتصلى فرادى، لأنه خسف القمر مرارا في عهد الرسول ولم ينقل أنه جمع الناس لها فيتضرع كل وحده، وقالت المالكية: ندب لخسوف القمر ركعتان جهرا بقيام وركوع واحد كالنوافل فرادى في المنازل وتكرر الصلاة حتى ينجلي القمر أو يغيب أو يطلع الفجر وكره إيقاعها في المساجد جماعة وفرادى.

Artinya, “Shalat gerhana bulan, bagi kalangan syafiiyah dan hanbaliyah, adalah dua rakaat dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya persis seperti mengamalkan shalat gerhana matahari secara berjamaah. Kalangan Hanafi mengatakan, shalat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan satu rukuk pada setiap rakaatnya sebagai shalat sunah lain pada lazimnya, dan dikerjakan secara sendiri-sendiri. Pasalnya, gerhana bulan terjadi berkali-kali di masa Rasulullah SAW tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi beribadah sendiri. Kalangan Maliki menganjurkan shalat sunah dua rakaat karena fenomena gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk pada setiap kali rakaat seperti shalat sunah pada lazimnya, dikerjakan sendiri-sendiri di rumah. Shalat itu dilakukan secara berulang-ulang sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar. Kalangan Maliki menyatakan makruh shalat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun secara sendiri-sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman 114).

Keterangan ini cukup jelas memilah pendapat para ulama. Madzhab Syafii berpendapat bahwa shalat gerhana bulan dilakukan secara berjamaah di masjid sebagaimana shalat gerhana matahari. Pendapat ini juga dipakai oleh Ahmad bin Hanbal, Dawud Az-Zhahiri, dan sejumlah ulama. Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi berpendapat sebaliknya. Bagi keduanya, shalat gerhana bulan tidak dilakukan secara berjamaah, tetapi dilakukan secara sendiri-sendiri sebanyak dua rakaat seperti dua rakaat shalat sunah lainnya.

Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama perihal tata cara shalat sunah gerhana bulan. Dalam Bidayatul Mujtahid, ia memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut ini:

سبب اختلافهم اختلافهم في مفهوم قوله عليه الصلاة والسلام: "إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتموهما فادعوا الله وصلوا حتى يكشف ما بكم وتصدقوا" خرجه البخاري ومسلم. فمن فهم ههنا من الأمر بالصلاة فيهما معنى واحدا وهي الصفة التي فعلها في كسوف الشمس رأى الصلاة فيها في جماعة. ومن فهم من ذلك معنى مختلفا لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه صلى في كسوف القمر مع كثرة دورانه قال المفهوم من ذلك أقل ما ينطلق عليه اسم صلاة في الشرع وهي النافلة فذا وكأن قائل هذا القول يرى أن الأصل هو أن يحمل اسم الصلاة في الشرع إذا ورد الأمر بها على أقل ما ينطلق عليه هذا الاسم في الشرع إلا أن يدل الدليل على غير ذلك فلما دل فعله عليه الصلاة والسلام في كسوف الشمس على غير ذلك بقي المفهوم في كسوف القمر على أصله والشافعي يحمل فعله في كسوف الشمس بيانا لمجمل ما أمر به من الصلاة فيهما فوجب الوقوف عند ذلك. وزعم أبو عمر بن عبد البر أنه روي عن ابن عباس وعثمان أنهما صليا في القمر في جماعة ركعتين في كل ركعة ركوعان مثل قول الشافعي

Artinya, “Sebab perbedaan itu terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam memahami hadits Rasulullah SAW, ‘Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Kalau salah seorang kalian melihat keduanya, sebutlah nama Allah dan shalatlah sampai Allah membuka gerhana itu, dan bersedekahlah,’ HR Bukhari. Ulama yang memahami di sini sebagai perintah shalat pada kedua gerhana dengan sebuah pengertian yaitu sifat shalat yang telah dikerjakan Rasulullah SAW ada saat gerhana matahari, memandang bahwa shalat pada gerhana matahari dilakukan secara berjamaah.” Sedangkan ulama yang memahami hadits ini dengan sebuah pengertian berbeda, sementara belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali sema beliau hidup, berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari teks hadits ini adalah sekurang-kurang sebutan shalat dalam syara’, yaitu shalat sunah sendiri. Ulama ini seakan memandang bahwa pada asalnya kata ‘shalat’ di dalam syarak bila datang perintah padanya harus dipahami dengan konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam syariat kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan. Ketika sikap Nabi SAW menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu, maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya. Sedangkan Imam Syafi’i memahami sikap Nabi SAW dalam melewati gerhana matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah shalat oleh Rasulullah pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas amaliah gerhana bulan harus berhenti di situ. Sementara Abu Amr bin Abdil Bar meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Utsman RA bahwa keduanya melaksanakan shalat dua rakaat secara berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya seperti pendapat Imam As-Syafi’i,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M/1434 H, cetakan kelima, halaman 199).

Perbedaan pendapat ini berimbas pada bacaan di dalam shalat itu sendiri. Tetapi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal cara pelaksanaan shalat gerhana bulan. Kita sebaiknya tidak perlu memaksakan pendapat ulama manapun kepada orang lain. Tetapi sebaiknya kita saling menghargai hasil ijtihad para ulama dan menghargai pandangan orang lain sesuai madzhab mereka.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Tata Cara Gerhana Bulan

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan
(via viata-libera.com)
Sumber: NU Online 
Gerhana bulan dalam bahasa Arab disebut “khusuf”. Saat terjadi fenomena gerhana bulan kita dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunah dua rakaat atau shalat sunah khusuf. Shalat sunah ini terbilang sunah muakkad.

و) القسم الثاني من النفل ذي السبب المتقدم وهو ما تسن فيه الجماعة صلاة (الكسوفين) أي صلاة كسوف الشمس وصلاة خسوف القمر وهي سنة مؤكدة

Artinya, “Jenis kedua adalah shalat sunah karena suatu sebab terdahulu, yaitu shalat sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah yaitu shalat dua gerhana, shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan. Ini adalah shalat sunah yang sangat dianjurkan,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, Bandung, Al-Maarif, tanpa keterangan tahun, halaman 109).

Secara umum pelaksanaan shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan diawali dengan shalat sunah dua rakaat dan setelah itu disusul dengan dua khutbah seperti shalat Idul Fitri atau shalat Idul Adha di masjid jami. Hanya saja bedanya, setiap rakaat shalat gerhana bulan dilakukan dua kali rukuk. Sedangkan dua khutbah setelah shalat gerhana matahari atau bulan tidak dianjurkan takbir sebagaimana khutbah dua shalat Id.

Jamaah shalat gerhana bulan adalah semua umat Islam secara umum sebagai jamaah shalat Id. Sedangkan imamnya dianjurkan adalah pemerintah atau naib dari pemerintah setempat.

Sebelum shalat ada baiknya imam atau jamaah melafalkan niat terlebih dahulu sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامً/مَأمُومًا لله تَعَالَى

Ushallî sunnatal khusûf rak‘ataini imâman/makmûman lillâhi ta‘âlâ

Artinya, “Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam/makmum karena Allah SWT.”

Adapun secara teknis, shalat sunah gerhana bulan adalah sebagai berikut:
1. Niat di dalam hati ketika takbiratul ihram.

2. Mengucap takbir ketika takbiratul ihram sambil niat di dalam hati.

3. Baca taawudz dan Surat Al-Fatihah. Setelah itu baca Surat Al-Baqarah atau selama surat itu dibaca dengan jahar (lantang).

4. Rukuk dengan membaca tasbih selama membaca 100 ayat Surat Al-Baqarah.

5. Itidal, bukan baca doa i’tidal, tetapi baca Surat Al-Fatihah. Setelah itu baca Surat Ali Imran atau selama surat itu.

6. Rukuk dengan membaca tasbih selama membaca 80 ayat Surat Al-Baqarah.

7. Itidal. Baca doa i’tidal.

8. Sujud dengan membaca tasbih selama rukuk pertama.

9. Duduk di antara dua sujud

10.Sujud kedua dengan membaca tasbih selama rukuk kedua.

11.Duduk istirahat atau duduk sejenak sebelum bangkit untuk mengerjakan rakaat kedua.

12.Bangkit dari duduk, lalu mengerjakan rakaat kedua dengan gerakan yang sama dengan rakaat pertama. Hanya saja bedanya, pada rakaat kedua pada diri pertama dianjurkan membaca surat An-Nisa. Sedangkan pada diri kedua dianjurkan membaca Surat Al-Maidah.

13.Salam.

14.Imam atau orang yang diberi wewnang menyampaikan dua khutbah shalat gerhana dengan taushiyah agar jamaah beristighfar, semakin takwa kepada Allah, tobat, sedekah, memerdedakan budak (pembelaan terhadap kelompok masyarakat marjinal), dan lain sebagainya.

Apakah boleh dibuat dalam versi ringkas? Dalam artian seseorang membaca Surat Al-Fatihah saja sebanyak empat kali pada dua rakaat tersebut tanpa surat panjang seperti yang dianjurkan? Atau bolehkah mengganti surat panjang itu dengan surat pendek setiap kali selesai membaca Surat Al-Fatihah? Boleh saja. Ini lebih ringkas seperti keterangan Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin berikut ini.

ولو اقتصر على الفاتحة في كل قيام أجزأه، ولو اقتصر على سور قصار فلا بأس. ومقصود التطويل دوام الصلاة إلى الانجلاء

Artinya, “Kalau seseorang membatasi diri pada bacaan Surat Al-Fatihah saja, maka itu sudah memadai. Tetapi kalau seseorang membatasi diri pada bacaan surat-surat pendek setelah baca Surat Al-Fatihah, maka itu tidak masalah. Tujuan mencari bacaan panjang adalah mempertahankan shalat dalam kondisi gerhana hingga durasi gerhana bulan selesai,” (Lihat Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz I, halaman 303).

Selagi gerhana bulan berlangsung, maka kesunahan shalat dua rakaat gerhana tetap berlaku. Sedangkan dua khutbah shalat gerhana bulan boleh tetap berlangsung atau boleh dimulai meski gerhana bulan sudah usai. Demikian tata cara shalat gerhana bulan berdasarkan keterangan para ulama. Wallahu a’lam

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan Sendirian

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan Sendirian
(© info-islam.ru.)
Sumber: NU Online
Gerhana bulan merupakan fenomena alam yang menjadi tanda kebesaran Allah SWT. dalam pada itu kita dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunah gerhana bulan. Shalat sunah gerhana bulan dapat dikerjakan secara sendirian. Sementara cara shalat gerhana bulan sama saja dengan cara shalat sunah lainnya.

Shalat sunah gerhana bulan cukup dikerjakan sendiri di rumah masing-masing. Pendapat ini dipegang oleh Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki. Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki menyebutkan tata cara shalat gerhana bulan menurut Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram sebagai berikut:

وقالت الحنفية صلاة الخسوف ركعتان بركوع واحد كبقية النوافل وتصلى فرادى، لأنه خسف القمر مرارا في عهد الرسول ولم ينقل أنه جمع الناس لها فيتضرع كل وحده، وقالت المالكية: ندب لخسوف القمر ركعتان جهرا بقيام وركوع واحد كالنوافل فرادى في المنازل وتكرر الصلاة حتى ينجلي القمر أو يغيب أو يطلع الفجر وكره إيقاعها في المساجد جماعة وفرادى

Artinya, “Kalangan Hanafi mengatakan, shalat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan satu rukuk pada setiap rakaatnya sebagai shalat sunah lain pada lazimnya, dan dikerjakan secara sendiri-sendiri. Pasalnya, gerhana bulan terjadi berkali-kali di masa Rasulullah SAW tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi beribadah sendiri. Kalangan Maliki menganjurkan shalat sunah dua rakaat karena fenomena gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk pada setiap kali rakaat seperti shalat sunah pada lazimnya, dikerjakan sendiri-sendiri di rumah. Shalat itu dilakukan secara berulang-ulang sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar. Kalangan Maliki menyatakan makruh shalat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun secara sendiri-sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman 114).

Sebelum shalat ada baiknya seseorang melafalkan niat terlebih dahulu sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ لله تَعَالَى

Ushallî sunnatal khusûf rak‘ataini lillâhi ta‘âlâ.

Artinya, “Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat karena Allah SWT.”

Adapun secara teknis, shalat sunah gerhana bulan sendirian adalah sebagai berikut:
1. Niat di dalam hati ketika takbiratul ihram.

2. Mengucap takbir ketika takbiratul ihram sambil niat di dalam hati.

3. Baca ta‘awudz dan Surat Al-Fatihah. Setelah itu baca salah satu surat pendek Al-Quran dengan jahar (lantang).

4. Rukuk.

5. Itidal.

6. Sujud pertama.

7. Duduk di antara dua sujud.

10.Sujud kedua.

11.Duduk istirahat atau duduk sejenak sebelum bangkit untuk mengerjakan rakaat kedua.

12.Bangkit dari duduk, lalu mengerjakan rakaat kedua dengan gerakan yang sama dengan rakaat pertama. Durasi pengerjaan rakaat kedua lebih pendek daripada pengerjaan rakaat pertama.

13.Salam.

14.Istighfar dan doa.

Shalat sunah gerhana bulan juga dapat dikerjakan dengan ringkas. Seseorang membaca Surat Al-Fatihah saja pada setiap rakaat tanpa surat pendek atau dengan surat pendek. Ini lebih ringkas seperti keterangan Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin berikut ini:

ولو اقتصر على الفاتحة في كل قيام أجزأه، ولو اقتصر على سور قصار فلا بأس

Artinya, “Kalau seseorang membatasi diri pada bacaan Surat Al-Fatihah saja, maka itu sudah memadai. Tetapi kalau seseorang membatasi diri pada bacaan surat-surat pendek setelah baca Surat Al-Fatihah, maka itu tidak masalah,” (Lihat Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz I, halaman 303).

Selagi gerhana bulan berlangsung, maka kesunahan shalat sunah gerhana bulan tetap berlaku. Tidak ada batasan jumlah rakaat shalat gerhana bulan menurut Madzhab Maliki. Hanya saja shalat sunah gerhana bulan ini dikerjakan per dua rakaat. Demikian tata cara shalat gerhana bulan berdasarkan Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki. Wallahu a’lam

Minggu, 28 Januari 2018

Hizib Kiai Dalhar Watucongol saat Hadapi Penjajah

Hizib Kiai Dalhar Watucongol saat Hadapi Penjajah
KH Dalhar Watucongol, Magelang.
Sumber: NU Online
Perjuangan melawan sekaligus mengusir penjajah pasca bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 nampaknya belum berakhir. Kemerdekaan yang sedianya dirasakan oleh rakyat Indonesia terus mendapat intimidasi kolonial yang seakan tidak rela melepas tanah dengan kekayaan alam melimpah seperti Indonesia.

Hal ini terjadi misalnya ketika tentara NICA (Belanda) membonceng Sekutu (Inggris-Gurkha) dan mendarat di Surabaya pada 10 November 1945. Seminggu setelah berkobarnya perang di Surabaya antara para santri dan rakyat Indonesia melawan Tentara Sekutu yang dipimpin Brigjen Mallaby, pertempuran kembali bergolak ke Semarang, Ambarawa, dan Magelang.

Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel. Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Tetapi seperti terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya seperti yang terjadi di Jawa Timur.

Namun demikian, kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).

Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup, sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.

Disaat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan KH Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.

Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama “empat besar” itu membaca aurod yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashor li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur.

Adapun KH Dalhar Watucongol (1870-1959) yang saat itu telah menginjak usia 75 tahun memunajatkan doa khusus. Kiai Dalhar memang dikenal sebagai ulama yang paling ‘alim di antara hadirin yang datang. Ulama yang amat rendah hati, tenang, dan tawadhu tersebut memanjatkan doa agar rakyat Indonesia diberi kesanggupan dalam berjuang mengenyahkan penjajah, khususnya Inggris yang bercokol di Magelang. Berikut munajat agung Kiai Dalhar Watucongol:

Anta yaa Robbi bika nastanshiru ‘alaa a’daainaa wa anfusinaa fanshurnaa wa ‘alaa fadhlika natawakkalu fii sholahinaa falaa takilnaa ilaa ghoirika ya Robbanaa. Wa bibaabika naqifu falaa tathrudnaa waiyyakaa nas’alu falaa tukhoyyibna. Allahumma irham tadhorru’anaa wa aamin khaufana wa taqobbal a’maalanaa wa ashlih ahwaalanaa wa ij’al bi thoo’atika isytighoolanaa wa akhtim bissa’adati aajaalanaa. Haadzaa dzulunaa la yakhfaa ‘alaika. Amartanaa fa tarokna wa nahaitanaa fartakabnaa walaa yasa’unaa illaa ‘afwika fa’fu ‘anaa ya khoiro ma’mulin wa akroma mas’uulin innaka ghofurur roufur rohiim ya Arhamar Rohimiin.

(Ya Allah, hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh kami, dan untuk keselamatan jiwa raga kami mohon pertolongan-Mu. Atas keunggulan kelebihan-Mu, ya Allah kami menyerahkan nasib baik kami, sebab itu tidak berserah diri kepada yang bukan Engkau ya Tuhan kami. Kami berdiri di depan pintu Rahmat-Mu, maka janganlah Engkau mengusir kami. Hanya kepada-Mulah kami mengajukan permohonan, maka janganlah Engkau gagalkan permohonan ini. Ya Allah belas kasihanilah sikap rendah diri kami ini dan lenyapkanlah ketakutan kami terhadap musuh. Mohon Engkau terima amal kami, dan keadaan kami mohon diperbaiki. Jadikanlah kami senantiasa rajin menjalankan perintah-perintah-MU dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Jika telah datang ajal kami, mohon diakhiri dengan keadaaan yang berbahagia. Inilah sikap renah diri kami di hadapan-Mu, dan tentang hal ihwal kami Engkau pasti Maha Tahu. Engkau memerintahkan kami supaya mengerjakan tugas kewajiban tetapi telah kami abaikan. Sebaliknya, Engkau mencegah kami berbuat durhaka bahkan kami gemar melakukannya. Tapi semua itu tidak menghanyutkan kami untuk memohon Ampunan-Mu. Wahai Dzat yang menjadi tumpuan segala keinginan dan permohonan, yang paling dermawan untuk menjadi tempat meminta-minta. Engkaulah Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Wahai Dzat yang paling kasih sayang).

Kisah ini disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya “Berangkat dari Pesantren”.

Tafsir Darul Islam Menurut NU

Tafsir Darul Islam Menurut NU
Ilustrasi.
Sumber: NU Online

Dalam gerak dan pikirnya, para kiai dan santri mampu mensinergikan antara agama dan nasionalisme, terutama ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) memfatwakan bahwa agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Mereka adalah dua entitas yang dapat saling memperkuat bangunan kebangsaan dan kenegaraan apapun perbedaan suku, agama, dan ras.

Kiai Hasyim Asy’ari menyadari betul bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam identitas kemajemukan. Kekayaan tradisi menguatkan identitas keindonesiaan, sedangkan kemajemukan agama dapat memperkuat bangunan nasionalisme dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama yang universal.

Sejak era pergerakan nasional, bangsa Indonesia dihadapkan oleh sejumlah kelompok yang begitu menonjolkan agamanya untuk membangun negara seperti yang mereka inginkan tanpa menyadari pluralitas dan kebhinnekaan Indonesia. Sebut saja DI/TII gawangan S.M. Kartosoewirjo yang hendak mendirikan Darul Islam (DI) di wilayah Indonesia tepatnya dimulai pada tahun 1942.

Padahal enam tahun sebelum wacana pendirian DI oleh Kartosoerwijo itu, Nahdlatul Ulama (NU) melalui Muktamar ke-11 tahun 1936 di Kota Banjarmasin telah mendefinisikan Darul Islam secara logis dan brilian. Dalam Muktamar ke-11 itu, NU memang dengan tegas memutuskan bahwa Indonesia merupakan Darul Islam.
Namun demikian, Darul Islam yang dirumuskan NU bukan rancangan memabngun negara teokrasi, bukan pula Islam sebagai agama hendak diformalisasikan ke dalam sistem negara. Tetapi, konteks Darul Islam yang dimaksudkan NU ialah wilayah Islam, bahwa Indonesia saat itu masih terjajah sehingga melawan penjajah merupakan kewajiban setiap Muslim, atau dengan kata lain berjihad melawan penjajah adalah kewajiban agama.

Definisi tersebut berdasarkan tafsir yang dijelaskan oleh ulama kharismatik NU, KH Achmad Siddiq (1926-1991) yang memberikan penafsiran hasil Muktamar NU tahun 1936 terkait keputusan Darul Islam. Kiai asal Jember tersebut menerangkan, kata Darul Islamdalam Muktamar tersebut bukanlah merujuk pada istilah tatanan politik kenegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan yang lebih tepat diartikan sebagai Wilayatul Islam atau wilayah Islam (Piagam Kebangsaan, 2011).

Dari langkah para kiai NU tersebut, jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, NU telah mengambil sikap tegas bahwa Indonesia merupakan wilayah Islam yang sedang dikooptasi, dijajah, dan dikuasai oleh kolonial. Maka, berjihad melawan penjajah merupakan kewajiban dan panggilan agama.

Gerak pikir dan langkah brilian para kiai NU tersebut menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak sebatas menegakkan simbol agama untuk kepentingan kelompok, tetapi meneguhkan nilai-nilai agama sebagai spirit perjuangan mengusir dan melawan penjajah sehingga akhirnya Indonesia pun merdeka atas jihad substansial umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia kala itu.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan sebagian kelompok yang justru dengan simbol-simbol agama yang seolah gagah ingin mendirikan daulah Islamiyahdengan merontokkan sendi-sendi bangunan persatuan dan kesatuan Indonesia yang diikat kuat oleh hasil jeri payah para pendiri bangsa dengan menancapkan falsafah agung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan spirit nilai-nilai keagamaan sebagai pondasi moral.

Memperhatikan poin-poin penting di atas, memahami Islam atau agama secara umum sebagai simbol hanya akan menyempitkan pandangan universalitas agama itu sendiri. Sebaliknya, menyerap setiap nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan dan rumusan falsafah yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa akan menyadarkan hati dan pikiran bahwa betapa nilai-nilai agama atau ke-Tuhanan menjadi spirit persatuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

KH Umar Basri Diserang Saat Wirid

Foto Istimewa
SumberDutaIslam


Penyerangan brutal oleh orang tak dikenal menyasar Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Kampung Santiong Desa Cicalengka Kulon, Cicalengka, Bandung KH Umar Basri bin KH Sukrowi, Sabtu (27/01/2018) pukul 05.30. Celakanya, pelaku menyerang kiai yang akrab disapa Cing Emon dilakukan ketika beliau wiridan usai shalat subuh berjamaah.

Pelaku memukul bertubi-tubi menggunakan tangan kosong hingga Kiai Umar tergeletak tak berdaya. Wajahnya lebam berlumuran darah. Sebelum memukul pelaku sempat menendang kotak kayu tempat adzan sambil mengelurkan kata-kata kasar.
Laporan yang diterima Dutaislam.com, kronologi penyerangan bermula ketika Kiai Umar melangsungkan shalat berjamaah. Saat itu pelaku yang belum diketahui identitasnya mengenakan baju levis dan ikut berjamaah subuh. Usai shalat, jamaah yang diketahui sekitar tiga saff mulai keluar dari mushalla. Sementara pelaku masih di dalam mushalla bersama Kiai Umar yang sedang wiridan di tempat imam.

Lampu mushalla dimatikan oleh santri. Ini sudah menjadi kebiasaan Kiai Umar setiap hari. Pada saat itulah pelaku menyerang kiai Umar menggunakan tangan kosong hingga mengalami luka parah di bagian kepala.

Dalam waktu bersamaan, Kiai Umar sedang ditunggu santri untuk ngaji. Namun, Ditunggu tak kunjung datang hingga salah satu santri menyusul ke mushalla. Ternyata Kiai Umar ditemukan tak berdaya belumur darah.

Di tempat kejadian perkara, aparat kepolisian Polres Bandung yang dipimpin oleh Wakapolres Bandung Kompol Mikranudin didampingi Kapolsek Cicalengka Kompol Asep Gunawan melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Hingga berita ini ditulis proses penyelidikan dan pengejaran pelaku masih berlangsung.

Sementara Kiai Umar masih menjalani perawatan serius di RS Al-Islam. Kabar terakhir, Beliau yang juga kakak dari KH. Ceng Amas Mansyur telah siuman dan mulai siuman.

Keluarga Besar Nahdlatul ‘Ulama, khususnya Jawa Barat sebagaimana dilansir ltnnujabar.com berharap pelaku dapat segera ditangkap dan diadili. NU Jabar juga mengecam keras tindak penganiayaan (apalagi fisik) terhadap ulama tersebut dan berharap Kiai Umar segera pulih, sehat seperti sediakala dan dapat beraktifitas kembali seperti biasa mengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Santiong.

Wali Songo Ormas NU Dimasa Lalu

Sumber: fp-GMNU NUsantara

Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah Adalah Aqidah Yang Pokok Dan Harus Dijaga Dari Paham Paham Sesat Baik Itu Liberal , Radikal , Rofidhoh , Muktazillah , Mujassimah Dll

Maulana Sunan Ampel Rahimakumullah Saat Di Makkah Beliau Bermimpi Bertemu Baginda Nabi SAW Bersabda Bawalah Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah Ini Ke Bumi Nusantara Karena Di Tempat Kelahirannya ( Mekkah , Hijaz ) Tidak Sanggup Lagi Membawanya

Hal Ini Terbukti Ketika Imperior Agung Ottoman . Di Haromain Dijaga Oleh Syarif Husein . Tetapi Islam Pada Jaman Syarif Husein Belum Sempat Dibuatkan Benteng Ahlussunnah Wal Jamaah ( ASWAJA ) . Maka Aliran Muktazillah Wahabi Menguasai Jazirah Arab .

Islam Berkembang Di Nusantara , Jumlah Para Auliya Allah Di Nusantara Menjadi Terbesar Nomer 2 Di Dunia Setelah Hadromaut Yaman .

Pada Jaman Hadrotus Syeikh KH Hasyim Asy'Ari Mandirikan Ormas Untuk Membentengi Aqidah Aswaja . Seperti Kitab Agung Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah

NU Benteng Aswaja Berpedoman :
1. Aqidah :
Asy'ariyah ( Imam Abu Hasan Asy Ari ) Dan Maturidi ( Imam Abu Mansur Maturidi )

2. Fiqih :
Imam Syafii , Imam Maliky , Imam Ahmad Ibnu Hambal , Imam Aby Hanifah

3. Tasawuf :
Al Hujjatul Islam Imam Ghozali Dan Imam Zunaedi Al Bagdadi

Apakah Sebelum NU , Belum Ada Benteng Ahlussunnah Wal Jamaah ?

ADA, Walisongo Adalah Ormas NU DI Masa Lalu . Yang Dipimpin 9 Auliya Allah . Andai Salah Satu Diantaranya Wafat Maka Akan Ditunjuk Pengganti Nya

Berikut Nama Wali Songo Dari Masa Ke Masa

Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari
1. Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419),
2. Maulana Ishaq,
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Maulana Malik Isra’il (wafat 1435),
6. Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435),
7. Maulana Hasanuddin,
8. Maulana ‘Aliyuddin, dan
9. Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari
1. Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim,
2. Maulana Ishaq (wafat 1463),
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il,
6. Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar,
7. Maulana Hasanuddin (wafat 1462),
8. Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan
9. Syekh Subakir (wafat 1463).
Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari
1. Sunan Ampel,
2. Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq,
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465),
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465),
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin,
8. Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan
9. Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel (wafat 1481),
2. Sunan Giri (wafat 1505),
3. Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra,
4. Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang,
8. Sunan Derajat, dan
9. Sunan Kalijaga (wafat 1513).
Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari
1. Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517),
2. Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri,
3. Raden Fattah (wafat 1518),
4. Fathullah Khan (Falatehan),
5. Sunan Kudus (wafat 1550),
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang (wafat 1525),
8. Sunan Derajat (wafat 1533), dan
9. Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari
1. Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar,
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II,
3. Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah,
4. Fathullah Khan (wafat 1573),
5. Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati (wafat 1569),
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang,
8. Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan
9. Sunan Muria (wafat 1551).
Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599),
2. Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak,
3. Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana,
4. Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan,
5. Sayyid Amir Hasan,
6. Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan,
8. Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan
9. Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599),
2. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen,
3. Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto,
4. Maulana Yusuf,
5. Sayyid Amir Hasan,
6. Maulana Hasanuddin,
7. Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung,
8. Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan
9. Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Wali Songo Angkatan ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang)
2. Syaikh Shihabuddin Al-Jawi (tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi)
3. Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir)
4. Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, (tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon )
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. (1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus)
6. Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir ( tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin)
7. Sultan Abulmu'ali Ahmad (Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani)
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
9. Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan (tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos)
Wali Songo Angkatan ke-10, 1751 – 1897 terdiri dari:
1. Pangeran Diponegoro ( menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan)
2. Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, (menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi)
3. Kyai Mojo, (Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura)
4. Kyai Kasan Besari, (Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani)
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. …
6. Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, (menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir)
7. Pangeran Sadeli, (Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu'ali Ahmad)
8. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura (Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri)
9. Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, (Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan)

Pada Tahun 1900 . Wali Songo Di Berhentikan Oleh Kolonial Belanda

Salam NU
Salam Jam'iyah

Gus Mus: Lulusan Pesantren Harus Jadi Manusia Yang Utuh

KH Ahmad Mustofa Bisri Sumber:  NU Online Jombang,  NU Online Para santri diharapkan mampu memahami segala persoalan yan...