Sumber: NU Online
Penyebab hadits ditolak atau tidak bisa diterima ada dua: sanadnya tidak bersambung dan di dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang bermasalah. Pembagian hadits dhaif dilihat dari terputusnya sanad sudah dibahas pada tulisan sebelumnya. Sebab itu, tulisan ini difokuskan pada penyebab kedua, perawi bermasalah.
Masalah perawi hadits biasanya terkait dengan dua aspek: ‘adalah dan dhabt. ‘Adalah berkaitan dengan moralitas atau integritas, sementara dhabt berkaitan dengan kekuatan hafalan.
Sebagaimana dijelaskan Mahmud Thahan dalam Taisiru Mustalahil Hadits, penyebab rusaknya ‘adalah seorang perawi karena suka berbohong, fasik atau pelaku maksiat, melakukan bid’ah tercela, dan lain-lain. Sementara penyebab rusaknya dhabt adalah karena sering lupa, hafalannya tidak bagus, sering salah, dan berbeda dengan orang yang lebih kuat hafalannya.
Berdasarkan penyebab di atas, ulama hadits membagi hadits dhaif menjadi beberapa macam. Di antara pembagiannya sebagai berikut:
Maudhu’
Maudhu’ termasuk hadits yang paling parah kedhaifannya, bahkan sebetulnya maudhu’ bukanlah hadits karena tidak termasuk dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul. Sebab itu, sebagian ulama tidak memasukkan maudhu’ sebagai kategori hadits dhaif.
Dalam musthalah hadits, maudhu’ berati:
Artinya, “Berita bohong yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah.”
Contoh hadits maudhu’ ialah hadits yang dibuat Muhammad bin Sa’id As-Syami. Dia mengatakan bahwa Humaid meriwayatkan hadits dari Anas, kemudian dari Rasulullah yang berkata:
Artinya, “Aku penutup para Nabi. Tidak ada Nabi setelahku, kecuali bila Allah menghendaki.”
Pernyataan di atas bukanlah perkataan Rasulullah, tetapi perkataan yang dibuat Muhammad bin Sa’id. Ini termasuk contoh hadits maudhu’ dan tidak boleh disebarluaskan kecuali dibarengi dengan penjelasan status haditsnya.
Matruk
Matruk ialah:
Artinya, “Hadits yang terdapat di dalam sanadnya rawi yang terduga kuat berdusta.”
Mahmud Thahan menjelaskan, perawi hadits diduga kuat berdusta karena dua alasan: pertama, hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali darinya dan bertentangan dengan kaidah umum atau prinsip umum beragama; Kedua, di dalam sanad hadits ditemukan seorang perawi yang dalam kehidupan sehari-harinya suka berbohong.
Cara mengetahui perawi hadits berdusta atau tidak adalah dengan merujuk kitab biografi perawi hadits yang sudah didokumentasikan oleh ulama hadits. Kitab biografi tersebut menjelaskan nama lengkap perawi, guru dan muridnya, biografi kehidupannya, termasuk kredibilitas dan kekuatan hafalannya. Di antara buku biografi perawi hadits yang populer adalah Siyar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi, Al-Jarhu wat Ta’dil karya Abu Hatim Ar-Razi, dan lain-lain.
Munkar
Ulama tidak satu suara dalam mendefenisikan hadits munkar. Ada banyak defenisi hadits munkar, tetapi yang paling populer ada dua defenisi:
Artinya, “Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang sering salah atau suka lupa, dan tampak kefasikannya.”
Ada juga yang mendefenisikan dengan:
Artinya, “Hadits yang diriwayatkan perawi dhaif bertentangan dengan perawi yang tsiqah.”
Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sering lupa, sering melakukan kesalahan, dan berbuat fasik terang-terangan. Akibatnya, hadits yang diriwayatkannya itu bertentangan dengan perawi yang tsiqah (kredibel).
Ketiga macam hadits dhaif di atas: maudhu’, matruk, dan munkar termasuk tingkatan hadits dhaif yang paling parah. Artinya, tidak boleh dijadikan landasan dalam beramal, meskipun untuk fadhail a’mal, keutamaan amal ibadah tertentu untuk motivasi. Wallahu a’lam.
Masalah perawi hadits biasanya terkait dengan dua aspek: ‘adalah dan dhabt. ‘Adalah berkaitan dengan moralitas atau integritas, sementara dhabt berkaitan dengan kekuatan hafalan.
Sebagaimana dijelaskan Mahmud Thahan dalam Taisiru Mustalahil Hadits, penyebab rusaknya ‘adalah seorang perawi karena suka berbohong, fasik atau pelaku maksiat, melakukan bid’ah tercela, dan lain-lain. Sementara penyebab rusaknya dhabt adalah karena sering lupa, hafalannya tidak bagus, sering salah, dan berbeda dengan orang yang lebih kuat hafalannya.
Berdasarkan penyebab di atas, ulama hadits membagi hadits dhaif menjadi beberapa macam. Di antara pembagiannya sebagai berikut:
Maudhu’
Maudhu’ termasuk hadits yang paling parah kedhaifannya, bahkan sebetulnya maudhu’ bukanlah hadits karena tidak termasuk dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul. Sebab itu, sebagian ulama tidak memasukkan maudhu’ sebagai kategori hadits dhaif.
Dalam musthalah hadits, maudhu’ berati:
هو الكذب المختلق المصنوع المنسوب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Berita bohong yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah.”
Contoh hadits maudhu’ ialah hadits yang dibuat Muhammad bin Sa’id As-Syami. Dia mengatakan bahwa Humaid meriwayatkan hadits dari Anas, kemudian dari Rasulullah yang berkata:
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي إلا أن يشأ الله
Artinya, “Aku penutup para Nabi. Tidak ada Nabi setelahku, kecuali bila Allah menghendaki.”
Pernyataan di atas bukanlah perkataan Rasulullah, tetapi perkataan yang dibuat Muhammad bin Sa’id. Ini termasuk contoh hadits maudhu’ dan tidak boleh disebarluaskan kecuali dibarengi dengan penjelasan status haditsnya.
Matruk
Matruk ialah:
هو الحديث الذي في اسناده راو متهم بالكذب
Artinya, “Hadits yang terdapat di dalam sanadnya rawi yang terduga kuat berdusta.”
Mahmud Thahan menjelaskan, perawi hadits diduga kuat berdusta karena dua alasan: pertama, hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali darinya dan bertentangan dengan kaidah umum atau prinsip umum beragama; Kedua, di dalam sanad hadits ditemukan seorang perawi yang dalam kehidupan sehari-harinya suka berbohong.
Cara mengetahui perawi hadits berdusta atau tidak adalah dengan merujuk kitab biografi perawi hadits yang sudah didokumentasikan oleh ulama hadits. Kitab biografi tersebut menjelaskan nama lengkap perawi, guru dan muridnya, biografi kehidupannya, termasuk kredibilitas dan kekuatan hafalannya. Di antara buku biografi perawi hadits yang populer adalah Siyar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi, Al-Jarhu wat Ta’dil karya Abu Hatim Ar-Razi, dan lain-lain.
Munkar
Ulama tidak satu suara dalam mendefenisikan hadits munkar. Ada banyak defenisi hadits munkar, tetapi yang paling populer ada dua defenisi:
هو الحديث الذي في اسناده راو فحش غلطه أو كثرت غفلته أو ظهر فسقه
Artinya, “Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang sering salah atau suka lupa, dan tampak kefasikannya.”
Ada juga yang mendefenisikan dengan:
هو ما رواه الضعيف مخالفا لما رواه الثقة
Artinya, “Hadits yang diriwayatkan perawi dhaif bertentangan dengan perawi yang tsiqah.”
Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sering lupa, sering melakukan kesalahan, dan berbuat fasik terang-terangan. Akibatnya, hadits yang diriwayatkannya itu bertentangan dengan perawi yang tsiqah (kredibel).
Ketiga macam hadits dhaif di atas: maudhu’, matruk, dan munkar termasuk tingkatan hadits dhaif yang paling parah. Artinya, tidak boleh dijadikan landasan dalam beramal, meskipun untuk fadhail a’mal, keutamaan amal ibadah tertentu untuk motivasi. Wallahu a’lam.