Sumber: NU Online
Oleh Sahal Japara
Akhir-akhir ini, sering kali muncul anggapan bahwa seorang ustadz atau ulama, pasti bisa menjawab semua pertanyaan dan menyelesaikan segala persoalan. Segala hal ditanyakan, dari persoalan keagamaan, politik, sampai fenomena alam. Seolah-olah para ustadz dan ulama selalu tahu segala hal.
Bagaimana hukumnya ini dan itu? Bagaimana solusi atas persoalan ini dan itu? Bagaimana caranya mengatasi banjir dan tanah longsor? Bagaimana caranya menata kota supaya tidak macet? Adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan oleh khalayak kepada para ustadz atau ulama. Dan anehnya, masih ada saja, ustadz atau ulama yang berani menjawab pertanyaan yang sebenarnya bukan kapasitas mereka untuk menjawabnya.
Ketika seseorang yang bukan ahlinya dimintai pertimbangan atau jawaban atas sebuah permasalahan, tentu jawabannya akan lahir tidak didasarkan kepada ilmu. Dan ini sangat berbahaya, bagaikan orang buta meminta dituntun oleh orang buta.
Ustadz atau ulama, adalah ahli agama, meskipun ada juga yang memiliki keahlian lain. Jika seorang yang ahli agama ditanyai tentang urusan yang bukan ahlinya, seperti sebab-sebab banjir, atau peristiwa alam yang lain, dan dimintai solusi atasnya, tentu jawabannya akan didasarkan kepada hal-hal yang bersifat 'agamis', seperti: banjir datang karena kita sering maksiat, dan solusinya supaya tidak banjir adalah kita beristighfar, bertaubat dan berdoa kepada Allah agar tidak menurunkan banjir.
Jawabannya bagus, sarat akan nilai religius, tapi kurang pas untuk dijadikan sebuah jawaban riil yang mampu menyelesaikan problematika masyarakat.
Menurut Mbah Sholeh Darat, orang yang mengurus sesuatu yang bukan urusannya itu sama halnya seperti orang ghasab, sebab menggunakan sesuatu yang bukan miliknya, dan itu tidak diperkenankan oleh agama.
Mbah Kiai Sahal, dahulu mencetuskan gagasan Ijtihad Jama'i, yakni sebuah ijtihad dalam menjawab persoalan umat, yang dilakukan secara kolektif dengan menghadirkan tokoh-tokoh dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Artinya, sebuah fatwa fiqih atau keputusan hukum, tidak hanya lahir dari seorang kiai, tetapi juga dilahirkan secara bersama-sama dengan berbagai pakar yang terkait dengan persoalan tersebut. Jika di bidang kesehatan, maka harus mendatangkan dokter. Jika di bidang pendidikan, maka harus mendatangkan guru dan praktisi pendidikan.
Upaya mengumpulkan pakar menjadi satu, untuk memecahkan sebuah persoalan, merupakan sebuah pertanda bahwa Kiai Sahal memandang adanya kekurangan dalam diri ustadz, ulama, atau kiai yang harus dilengkapi oleh yang lain. Atau ada hal-hal yang memang tidak bisa dijawab oleh mereka, sehingga harus dipasrahkan kepada orang lain.
Imam Ahmad bin Hanbal, ulama besar Islam yang terkenal di bidang hadits dan fiqih saja, ketika ditanyai persoalan-persoalan yang sesuai dengan kapasitasnya, seringkali menjawab: aku tidak tahu (لا اعلم، لا ادري), aku tidak pernah mendengar tentang hal itu (ما سمعت), aku tidak berani berfatwa tentang hal itu (لا أجترئ على الفتوى فيها), bertanyalah kepada orang lain (سل غيري), bertanyalah kepada para ulama (سل العلماء), ini sebuah persoalan yang sulit (مسألة دقيقة), aku ingin selamat (أحب السلامة), maaf aku tidak bisa menjawab (اعفني من الجواب).
Sekelas Imam Ahmad yang kitab-kitabnya dijadikan referensi inti kajian-kajian keislaman saja jawabannya sedemikian hati-hati, padahal pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat sesuai dengan kapasitas dan bidang beliau. Apalagi kita yang bukan siapa-siapa? Tentunya harus lebih sangat amat ekstra hati-hati.
Semoga kita semua senantiasa diberikan keberanian untuk tidak menjawab atau berkomentar, di zaman siapa pun bebas berkomentar dan berfatwa, atas persoalan yang bukan kapasitas kita untuk menjawabnya.
Sebab, orang yang paling berani dan sembarangan dalam berfatwa, adalah orang yang paling berani masuk neraka.
أجرؤكم على الفتوى أجرؤكم على النار....
Wallahul musta'aaaan....
(Penulis adalah Alumni Perguruan Islam Mathali'ul Falah, Kajen)