Selasa, 27 Februari 2018

Hukum Menyentuh Istri, Apakah Batalkan Wudhu?

Hukum Menyentuh Istri, Apakah Batalkan Wudhu?
Sumber: NU Online

Pertanyaan 
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang baik, saya mau bertanya tentang hukum suami-istri bersentuhan. Apakah ada imam yang menyatakan tidak membatalkan wudhu? Dan bagaimana hukum/kaifiyahnya apabila kita mengikuti pendapat imam tersebut? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Miftahul Jinan)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah selalu merahmati kita semua. Mengenai persoalan menyentuh istri apakah membatalkan wudhu apa tidak, sebenarnya merupakan persoalan yang sejak dulu diperselisihkan para fuqaha.

Pendapat yang populer di kalangan umat Islam Indonesia adalah pendapat yang menganggap bahwa menyentuh istri membatalkan wudhu jika tanpa penutup atau aling-aling (bi duni ha`il), kecuali rambut, gigi, dan kuku.

Pendapat lain menyatakan bahwa menyentuh perempuan baik istri, perempuan ajnabiyyah, atau mahramnya tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik diiringi syahwat maupun tidak. Ini adalah pandangan yang dianut para ulama dari madzhab Hanafi. Sedangkan menurut Imam Malik, sepanjang menyentuhnya tidak diiringi syahwat maka wudhu tidak batal.

( وَلَا يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ الْقُبْلَةِ ، وَمَسُّ الْمَرْأَةِ بِشَهْوَةٍ ، أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ ) ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ ذَلِكَ ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، وَهُوَ اخْتِلَافٌ مُعْتَبَرٌ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ حَتَّى قِيلَ يَنْبَغِي لِمَنْ يَؤُمُّ النَّاسَ أَنْ يَحْتَاطَ فِيهِ ، وَقَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ إنْ كَانَ عَنْ شَهْوَةٍ يَجِبُ ، وَإِلَّا فَلَا

Artinya, “Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya baik dengan syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra. Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu Mas’ud. Persoalan ini dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa awal sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi orang lain untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam Malik, wajib wudhu jika diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa syahwat,” (Lihat Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1421 H/2000 M, juz I, halaman 121).

Dari penjelasan singkat ini tampak jelas bahwa memang ada pandangan yang menyatakan bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu. Namun persoalannya, tidak hanya sampai di sini. Sebab ada pertanyaan lanjutan yang terkait bagaimana hukum dan cara mengikuti pendapat yang menyatakan tidak batal?

Dalam benak kami, pertanyaan kedua terkait dengan mayoritas masyarakat muslim Indonesia sebagai penganut madzhab Syafi’i di mana dalam pandangan madzhab tersebut menyentuh istri tanpa penutup adalah membatalkan wudhu.

Sedangkan pendapat yang menyatakan tidak batal adalah madzhab hanafi. Ilustrasi ini menurut hemat kami adalah yang melarbelakangi munculnya pertanyaan kedua yaitu mengenai hukum dan cara mengikuti atau bertaklid kepada pandangan yang menyatakan bahwa menyentuh isteri tanpa penutup tidak membatalkan wudlu.

Persoalan ini merupakan persoalan yang diperdebatkan para ulama. Karena keterbatasan kemampuan, kami tidak bisa menjelaskan secara menyeluruh. Terlebih dahulu kami akan menjelaskan sedikit mengenai wudhu dalam pandangan madzhab Hanafi dan Syafi’i, terutama terkait soal membasuh kepala. Bagi madzhab Hanafi yang wajib adalah mengusap seperempat kepala. Sedangkan bagi madzhab syafi’i, yang wajib adalah cukup dengan sesuatu yang dianggap sebagai mengusap kepala meskipun hanya sedikit. Dengan kata lain, mengusap kepala meskipun cuma sedikit sepanjang itu dikatakan mengusap, maka dianggap cukup.

اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْقَدْرِ الْوَاجِبِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ ، فَذَهَبَ الْأَحْنَافُ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ مَسْحُ مِقْدَارِ النَّاصِيَةِ ، وَهُوَ رُبُعُ الرَّأْسِ . وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَكْفِي مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَسْحِ مِنَ الرَّأْسِ ، وَإِنْ قَلَّ

Artinya, “Para fuqaha berbeda pendapat tentang ukuran yang wajib dalam mengusap kepala. Madzhab Hanafi menyatakan bahwa yang wajib adalah mengusap seukuran jambul yaitu seperempat kepala. Madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan, seluruh kepala. Sedang Madzhab Syafi’i memandang bahwa membasuh kepala adalah cukup dengan sesuatu yang dianggap membasuh meskipun sedikit,” (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait, Darus Salasil, juz VIII, halaman 125).

Lantas bagaimana jika berwudhu dengan mengusap kepala sedikit saja tidak sampai seperempat karena bertaklid atau mengikuti Imam Syafi’i, kemudian menjalani shalat dengan menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah) bukan fisik Ka’bah (‘ainul ka’bah), karena mengikuti pendapat Abu Hanifah?

Dalam kasus seperti ini, para ulama berbeda pendapat. Salah satu pendapat menyatakan bahwa shalatnya sah. Alasannya adalah bahwa kedua imam yaitu Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tidak sepakat atas batalnya wudhu tersebut.

وَكَذَلِكَ إِذَا تَوَضَّأَ َوَمَسَّ بِلَا شَهْوَةٍ تَقْلِيدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَلَمْ يُدَلِّكْ تَقْلِيدًا لِلشَّافِعِيِّ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَاُتهُ بَاطِلَةٌ لِإتِّفَاقِ الْإِمَامَيْنِ عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ بِخِلَافِ مَا إِذَا كَانَ التَّرْكِيبُ مِنْ قَضِيَّتَيْنِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ذَلِكَ غُيْرُ قَادِحٍ فِي التَّقْلِيدِ كَمَا إِذَا تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ ثُمَّ صَلَّى إِلَى الْجِهَةِ تَقْلِيدًا لِأَبِي حَنِيفَةَ فَالَّذِي يَظْهَرُ صِحَّةُ صَلَاتِهِ لِأَنَّ الْإِمَامَيْنِ لَمْ يَتَّفِقَا عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ 

Artinya, “Begitu juga apabila seseorang berwudhu dan menyentuh seorang perempuan tanpa syahwat karena bertaklid kepada Imam Malik (tetapi) ia juga tidak menggosok dengan tangan karena bertaklid kepada Imam Syafi’i kemudian ia shalat, maka shalatnya batal kerena kedua imam (Imam Malik dan Imam Syafi’i) sepakat batal kesuciannya. Berbeda apabila formula yang lahir dari penggabungan dua pendapat (talfiq) dari dua kasus hukum (qadliyyah) yang berbeda, maka hal itu bukan sesuatu yang tercela dalam taqlid sebagaimana seseorang yang berwudhu dan membasuh sebagian kepalanya (kurang dari seperempat kepala) kemudian melakukan shalat menghadap arah Ka’bah (bukan menghadap ke fisik Ka’bah sebagaimana pandangan Madzhab Syafi’i, pent) karena bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah, maka dalam hal ini shalatnya adalah sah karena kedua imam tersebut tidak sepakat batal kesuciannya,” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Indonesia, Darul Kutub al-Islamiyyah, halaman 284).

Jika kita mengikuti pendekatan yang dikemukakan dalam kitab Fathul Mu’in di atas, maka setidaknya bisa ditarik kesimpulan bahwa mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa bersentuhan suami-istri tanpa penutup tidak membatalkan wudlu adalah diperbolehkan sepanjang tidak tidak dalam satu kasus hukum (qadliyyah).

Contoh yang satu qadliyyah seperti seseorang berwudhu dan ketika mengusap kepala tidak sampai seperempatnya karena mengikuti Imam Syafi’i, tetapi kemudian menyentuh istrinya tanpa penutup karena taklid kepada Imam Abu Hanifah. Dalam kasus ini menurut pendekatan di atas, tidak dibenarkan. Karena baik Imam Syafi’i maupun Imam Abu Hanifah menganggap batal wudhu tersebut.

Hal penting yang mesti kita pahami bersama dalam soal ini adalah jangan asal ambil pendapat karena ingin mengambil yang mudah-mudah saja karena hal itu tidak diperbolehkan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Gus Mus: Lulusan Pesantren Harus Jadi Manusia Yang Utuh

KH Ahmad Mustofa Bisri Sumber:  NU Online Jombang,  NU Online Para santri diharapkan mampu memahami segala persoalan yan...