Sumber: NU Online
Oleh Muhammad Syamsudin
Ketika Presiden Jokowi menghadiri acara Dies Natalis Ke-68 Universitas Indonesia di Depok pada Jumat (2/2), di tengah situasi ia sedang berpidato memberi sambutan, tiba-tiba ada aksi nyentrik dari seorang Ketua BEM UI mengangkat kartu kuning sambil meniupkan peluit yang diacungkan ke Presiden Jokowi. Akibat ulahnya ini, si mahasiswa yang diketahui namanya sebagai Zaadit Taqwa langsung diamankan oleh Paspampres dan diminta agar keluar dari forum tersebut.
Tak urung, aksi ketua BEM ini menjadi viral di sejumlah media dan mendapatkan sambutan komentar dan tanggapan yang beraneka ragam dari berbagai pihak. Tidak hanya masyarakat, melainkan juga sejumlah politisi yang terkenal vokal dan selalu mengkritik setiap kebijakan Presiden Jokowi, juga turut memberikan andil melakukan aksi serupa di sejumlah forum lain. Bahkan, ada yang memakai kartu merah yang artinya adalah penalti bagi Presiden dan layak menerima impeachment.
Karuan komentar dari Netizen menjadi semakin memanas. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagian yang pro, menanggapi bahwa aksi Ketua BEM tersebut sebagai aksi yang wajar, dan kreatif. Adapun yang kontra, menanggapinya dengan mengatakan bahwa aksi tersebut adalah tidak sopan, aksi pesanan, dan tidak wajar. Apalagi bila memandang fokus utama objek yang menjadi aksi bila dikaitkan dengan kejadian luar biasa (KLB) di Asmat. Terakhir, Presiden Jokowi dalam kesempatan terpisah menawarkan akan mengirim mereka ke Asmat agar tahu kondisi riel yang sebenarnya di lapangan sehingga bisa mengetahui bagaimana sulitnya pemerintah menembus wilayah suku Asmat ini dan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi peristiwa tersebut. Dijawab secara terpisah, bahwa ketua BEM ini akan berangkat sendiri ke Asmat bersama dengan BEM UI yang lain dengan dana sendiri, yang disertai dengan berbagai alasan tidak mau menggunakan dana pemerintah.
Garis besarnya adalah, dalam setiap aksi, pasti ada maksud dan tujuan. Apalagi bila aksi tersebut dinilai tidak wajar. Sudah barang tentu, akan ada yang pro dan kontra menanggapi aksi tersebut. Lepas dari ada yang menilai sebagai kewajaran atau tidak, berkeadaban atau tidak, itu adalah hal yang wajar dalam iklim demokrasi di Indonesia. Yang terpenting adalah selagi tidak menggunakan cara yang radikal, seperti membuat kerusuhan, menabrak aturan menyampaikan pendapat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal itu masih dipandang wajar. Hebatnya, pemerintah juga tidak menanggapi sebagai anti kemapanan sehingga layak dipenjarakan sebagaimana iklim politik di era Orde Baru, dulu.
Lantas apa hubungannya dengan Mars Yalal Wathan dan Ansor-Banser? Beberapa hari ini media sosial juga sedang diramaikan oleh tanggapan sebuah aksi nyentrik dari kaum muda Ansor dan Banser yang tengah melakukan umrah. Di tengah situasi umrah dan berada di lokasi mas’a, mereka berdoa, lalu disambung dengan membaca butir-butir Pancasila. Sebagian video yang lain, secara berombongan, mereka menyanyikan lagu Mars Yalal Wathan.
Tentu, netizen yang menyimak aksi yang tidak biasa ini akan menanggapi pula dengan tanggapan yang beragam sehingga pro dan kontra pun terjadi. Berbagai perang opini dan dalil terjadi di dunia media sosial. Ada yang meninjaunya dari sisi adab, ada pula yang meninjau dari sisi hukum. Dari sini muncul perdebatan yang sengit. Ada yang memandang boleh dan kewajaran dan ada yang memandang makruh. Penulis dalam hal ini belum menemui adanya kajian yang memandang ketidakbolehannya. Level terendah dari hasil kajian hukum secara Fiqih adalah makruh.
Di sisi yang lain, ada yang menanggapi dan mengaitkan dengan sisi hubungan diplomatik antara Indonesia-Arab yang terancam renggang akibat ulah Banser ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Jamaah Islam Nusantara (demikian sebut mereka) sebaiknya dipinalti tidak boleh melakukan Umrah dan Haji lagi. Ada seorang dai dari Malang dalam sebuah akunnya, juga menyebut bahwa sebaiknya Biro Tour dan Travel yang memberangkatkan mereka di Pinalti saja. Tak urung, berbagai tanggapan ini gencar disuarakan dalam media sosial dengan berbagai argumen. Persis seperti ketika Ketua BEM UI mengacungkan Kartu Kuning dan meniup peluit ke Presiden Jokowi saat itu.
Penulis dalam kesempatan ini mencoba membaca dari sisi lain. Setelah lama merenung, saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa Banser tidak berdendang dengan syair Shalawat Badar, atau al-salaamu ‘alaik saja? Kenapa yang dibaca juga Pancasila? Kok bukan Teks Sumpah Pemuda atau UUD 1945? Bukankah itu sama-sama nyentrik dan nyleneh bila itu dipraktikkan? Pertanyaan-pertanyaan itu, mencoba dianalisa oleh penulis. Tidak mungkin kaum muda NU ini melakukan tanpa alasan. Soal adab, mereka juga pernah mengaji adab. Soal rangkaian ibadah umrah, mereka tentu juga pernah mengaji. Apalagi soal mubthilatul umrah–perkara yang membatalkan umrah—sedikit banyak mereka tentu pernah mengaji. Apalagi beberapa dari mereka adalah jebolan pesantren salaf terkenal di Pulau Jawa, bahkan ada yang alumni Timur Tengah yang fasih dalam kajian kitab. Seorang santri pasti tahu adab dalam hal ini. Jadi, jelas bahwa ini pasti ada motif. Tapi, apa yang mendorong mereka melakukan hal yang tidak biasa itu? Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisa
Mars Yalal Wathan merupakan Mars karya dari Hadlratus Syeikh KH. Wahab Hasbullah yang isinya sebuah pernyataan cinta negeri. Bahkan ada dalam bait lirik Mars tersebut kalimat hubbul wathan mina al-iman yang artinya cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Bahkan dalam bait terakhir ada bunyi lirik “siapa datang mengancammu, kan binasa di bawah dulimu.” Ini umrah, kenapa bersyair dengan hal yang berbau cinta negeri dan membentengi negara? Demikian juga di dalam salah satu sila Pancasila, ada kalimat Persatuan Indonesia. Kalian sedang berada di Arab Saudi, mengapa membunyikan Persatuan Indonesia? Apa maksud kalian?
Pilihan syair yang didendangkan dan tidak biasa ini tentu memiliki ikatan yang kuat dengan realitas di tempat mereka tinggal dan berada. Di mana lagi kalau bukan di Indonesia? Pilihan lokasi yang tepat di pusat icon internasional umat Islam tanpa membawa bendera tentu juga menjadi hal yang unik. Selama ini bertebaran fatwa dari beberapa pihak bahwa nasionalisme tidak ada dasarnya di dalam Islam. Kali ini mereka menjawab dengan tegas dan lantang bahwa hubbu al-wathan mina al-iman. Dari sisi politik dunia Internasional, suara lantang mereka di icon internasional umat Islam tentu akan menjadi sorotan dunia. Dunia akan membaca, bahwa bila Islam dimaknai sebagai yang tidak cinta tanah air dan tidak punya nasionalisme adalah logical falacy (kesalahan logika). Realitasnya, Indonesia dengan muslim terbesar di dunia dan NU sebagai mayoritas dari umat Islam masih memandang bahwa Nasionalisme adalah bagian daripada iman.
Bila isu umat Islam di dunia adalah terkait dengan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seolah Islam lewat Ansor dan Banser NU sudah menjawabnya bahwa persatuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebuah hal yang mutlak dan penting. Ansor dan Banser NU masih memandang bahwa Indonesia dalam kondisi yang beraneka ragam suku dan budaya, serta agama, merupakan hal mutlak yang harus dijaga. Dengan demikian, seolah kumandang mereka tentang Pancasila dalam bagian rangkaian umrah ini dimaknai sebagai komitmen, bahwa Ansor dan Banser meneguhkan diri sebagai penjaga NKRI. Bait terakhir syair Yalal Wathan yang menyuarakan “siapa datang mengancammu, kan binasa di bawah dulimu,” seolah dengan bait ini, Ansor dan Banser NU menyuarakan tidak setujunya dengan semua aksi massa yang mengarah kepada separatisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, penulis dalam kesempatan ini memaknai bahwa tindakan unik yang dilakukan oleh teman-teman Ansor dan Banser ini sejatinya ibarat kartu kuning bagi mereka yang meneriakkan nasionalisme tidak ada dalilnya. Layaknya kartu kuningnya ketua BEM UI ke Presiden Jokowi. Tindakan ini seolah juga bermakna ibarat kartu merah bagi siapa saja yang menyuarakan isu konflik SARA di Indonesia tentunya. Ibarat kartu merah yang dikeluarkan oleh beberapa kaum politisi dan ditujukan ke Presiden Indonesia saat ini juga. Pilihan lokasi di tanah suci, ibarat kartu yang dikeluarkan di tengah massa dan dalam kondisi tidak biasa. Secara adab, pasti kurang etis. Namun, secara efek sosial, pasti ada pengaruhnya. Apakah perlu teguran? Menurut hemat penulis, tanpa teguran pun, penulis meyakini bahwa Ansor dan Banser NU sudah tahu kapan berhenti bersuara dan kapan harus bersuara. Karena mereka adalah santri yang “harus” berbaju “doreng” dan bukan pihak yang memakai “kalung surban.” Wallahu A’lam.
Penulis adalah Direktur Aswaja NU Center PCNU Bawean dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim