Selasa, 13 Oktober 2020

Benarkah Ahli kubur mengenali yang menziarahinya?


Banyak sekali kebaikan yang bisa dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Salah satu kebaikan yang dapat dilakukan itu ziarah ke kuburnya dan mendoakannya. Pertanyaannya, benarkah ahli kubur tahu siapa saja yang menziarahi kuburnya? Konon pada malam Jumat, ahli kubur berada di kuburnya dan menanti kiriman doa keluarganya. Benarkah demikian? Kemudian, jika ahli kubur mengetahui siapa saja yang menziarahi kuburnya, bolehkah si keluarga atau si peziarah menyampaikan sesuatu atau meminta doa kepada mereka? 

 Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini, tentunya kita membutuhkan dalil dan pandangan para ulama, terutama para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Pertanyaan tentang tahu dan tidaknya ahli kubur terhadap orang-orang yang menziarahinya sungguhnya telah terjawab oleh riwayat Al-Baihaqi dalam Kitab Syu‘abul Iman dari Muhammad bin Wasi‘. Ia menyebutkan:

  بَلغنِي أَن الْمَوْتَى يعلمُونَ بزوارهم يَوْم الْجُمُعَة وَيَوْما قبله وَيَوْما بعده 

Artinya, “Telah sampai kepadaku bahwa orang-orang yang telah meninggal mengetahui orang yang menziarahinya pada hari Jumat, serta satu hari sebelum dan setelahnya.” Hal ini ditegaskan oleh As-Suyuthi sebagaimana riwayat Al-‘Uqaili dari Abu Hurairah. Hal ini malahan pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh seorang sahabat bernama Abu Razin. Tanya Abu Razin, “Wahai Rasul,  jika aku mau berjalan lewat kuburan orang-orang meninggal, adakah ucapan yang dapat aku sampaikan ketika melewati mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ucapkanlah olehmu: 

   اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، أَنْتُمْ لَنَا سَلَفٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ 

Artinya, ‘Salam keselamatan teruntuk kalian, wahai ahli kubur dari orang-orang muslim dan mukmin. Kalian adalah pendahulu bagi kami. Dan kami adalah pengikut kalian. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian.’” Ditanyakan oleh Abu Razin, “Memangnya mereka mendengar?” “Mereka mendengar, namun tidak bisa menjawab. Hai Abu Razin, tidakkah engkau rida ucapanmu dijawab malaikat sebanyak mereka?” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.  Ditambahkan oleh As-Suyuthi, maksud “Mereka tidak mampu menjawab” di sini adalah menjawab dengan jawaban yang terdengar oleh orang hidup. Artinya, mereka tetap menjawab hanya saja tak terdengar oleh orang yang hidup. (Lihat Syekh ‘Ali bin Sultan Muhammad, Mirqatul Mafatih, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M], jilid IV, halaman 1259). Selanjutnya, perihal keberadaan arwah sejak kematian sampai hari Kiamat, para ulama Ahli Sunnah berbeda pendapat. Pendapat yang mengatakan bahwa pada hari Jumat mereka berada di kuburnya dan menanti kiriman doa keluarganya, mungkin didasarkan pada pendapat al-Yafi‘i sebagaimana dikutip oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi. Ia menyatakan: 

  فِي مَوضِع آخر مَذْهَب أهل السّنة أَن أَرْوَاح الْمَوْتَى ترد فِي بعض الْأَوْقَات من عليين أَو من سِجِّين إِلَى أَجْسَادهم فِي قُبُورهم عِنْد إِرَادَة الله تَعَالَى وخصوصا لَيْلَة الْجُمُعَة ويجلسون وَيَتَحَدَّثُونَ وينعم أهل النَّعيم ويعذب أهل الْعَذَاب وتختص الْأَرْوَاح دون الأجساد بالنعيم أَو الْعَذَاب مَا دَامَت فِي عليين أَو سِجِّين وَفِي الْقَبْر يشْتَرك الرّوح والجسد 

Artinya, Dalam pendapat ulama Ahli Sunnah yang lain disebutkan bahwa pada waktu-waktu tertentu roh orang-orang yang meninggal dikembalikan dari ‘iliyyin atau sijjin ke jasad mereka yang ada dalam kubur ketika Allah berkehendak, dan khususnya pada malam Jumat. Sehingga mereka bisa duduk dan berbincang. Ahli nikmat mendapat nikmat, sedangkan ahli azab akan mendapat siksa. Selama berada di ‘iliyyin atau sijjin, roh tanpa jasad mendapat nikmat  atau azab.  Sedangkan ketika berada dalam kubur, roh bersama-sama jasad (menerimanya). (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Syarhus Shudur bi Syarhi Halil Mauta wal Kubur, [Beirut, Darul Ma‘rifah: 1996 M], halaman 220). Pendapat Malik bahkan mengatakan, roh itu dilepaskan ke mana saja ia ingin pergi. Ini sejalan dengan riwayat yang menyatakan bahwa terkadang roh itu berada di halaman kuburan.  Kemudian menurut riwayat Mujahid, tujuh hari penuh roh itu berada dalam kubur. Terutama pada hari penguburan. Ia dikembalikan ke jasad bukan pada saat ditanya Munkar Nakir saja, sebagaimana hadits sahih riwayat Ibnu ‘Abdil Barr. Dalam riwayat itu, Nabi Muhammad SAW bersabda: 

 مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ الرَّجُلِ الَّذِي كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَّا رَدَّ اللَّه عَلَيْهِ روحه حَتَّى يرد عَلَيْهِ السَّلَام 

Artinya, “Tidaklah seorang laki-laki melintas ke kuburan laki-laki meninggal yang dikenalinya saat di dunia, kemudian ia mengucap salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan roh kepada (jasad)nya sehingga yang meninggal itu bisa menjawab salam kepadanya.” Jika memperhatikan beberapa pendapat dan juga riwayat di atas, terutama pendapat Malik, keberadaan roh di kuburnya dan menanti kiriman doa setiap malam Jumat dapat dibenarkan. Sebab, pada malam itu, roh dikembalikan. Bahkan menurut An-Nasafi, roh dibebaskan dari azab. Selain malam jumat, roh juga dikembalikan dan dibebaskan pada bulan suci Ramadhan. Tak sampai di situ, dalam riwayat Abu Nu‘aim dari Ibnu Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa siapa saja yang kematiannya bersamaan dengan berakhirnya bulan Ramadhan, maka ia akan masuk surga. (Lihat As-Suyuthi, 1996 M: 306). Lantas bagaimana keberadaan ahli kubur saat diziarahi seseorang? Benarkah mereka bergembira karena diziarahi dan didoakan? Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan riwayat yang menyatakan: 

 آنس مَا يكون الْمَيِّت فِي قَبره إِذا زَارَهُ من كَانَ يُحِبهُ فِي دَار الدُّنْيَا 

Artinya, “Sesenang-senangnya mayat di alam kubur adalah ketika diziarahi oleh orang yang dicintainya semasa di dunia,” (Lihat Irsyadul ‘Ibad, halaman 32). Logika sederhananya, jika orang hidup saja merasa senang saat dikunjung orang yang dicintainya, apalagi orang yang sudah meninggal. Bagaimana tidak, karena orang meninggal sudah berada di negeri yang terasing dari keluarga, saudara, dan kerabatnya. Ketika mereka berziarah, memberi hadiah doa bacaan Al-Quran, atau hadiah sedekah, tentu ahli kubur sangat senang. Oleh karena itu Rasulullah SAW mensyariatkan ziarah, mendoakan mereka agar mendapat rahmat dan ampunan, namun beliau tak memperkenankan untuk menyampaikan sesuatu kepada  ahli kubur selain salam dan lantunan doa, meminta sesuatu secara langsung kepadanya, atau minta didoakan kepadanya sebagaimana pandangan ulama ahli hadits.

 Wallahu a’lam.  

 Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/119244/benarkah-ahli-kubur-mengenali-orang-yang-menziarahinya-

Rabu, 30 Oktober 2019

Tafsir Shiratal Mustaqim


Menurut Imam Abu Ja’far ibnu Jarir semua kalangan ahli tafsir telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan shiratal mustaqim ialah “jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)”. Namun ketika bicara secara konkrit apa yg dimaksud, Tafsir at-Thabari kemudian menampilkan sejumlah riwayat berbeda untuk mengurai makna konkrit shiratal mustaqim: 
1.Kitabullah (Al-Qur’an) 
‎وحدثنا أحمد بن إسحاق الأهوازي، قال: حدثنا أبو أحمد الزبيري، قال: حدثنا حمزة الزيات، عن أبي المختار الطائي، عن ابن أخي الحارث الأعور، عن الحارث، عن علي، قال: «الصراط المستقيم كتاب الله تعالى»
 2. Islam
 ‎حدثني محمود بن خداش الطالقاني، قال: حدثنا حميد بن عبد الرحمن الرواسي، قال: حدثنا علي، والحسن، ابنا صالح، جميعا عن عبد الله بن محمد بن عقيل، عن جابر بن عبد الله: ” {اهدنا الصراط المستقيم} [الفاتحة: ٦] قال: الإسلام
 3. Thariq (jalan) ‎
وحدثنا القاسم بن الحسن، قال: حدثنا الحسين بن داود، قال: حدثني حجاج، عن ابن جريج، قال: قال ابن عباس في قوله: ” {اهدنا الصراط المستقيم} [الفاتحة: ٦] قال: الطريق “
 4. Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab 
‎حدثنا عبد الله بن كثير أبو صديف الآملي، قال: حدثنا هاشم بن القاسم، قال: حدثنا حمزة بن أبي المغيرة، عن عاصم، عن أبي العالية، في قوله: ” {اهدنا الصراط المستقيم} [الفاتحة: ٦] قال: هو رسول الله صلى الله عليه وسلم وصاحباه من بعده: أبو بكر وعمر ‎قال: فذكرت ذلك للحسن، فقال: «صدق أبو العالية ونصح» Sekarang kita tahu paling tidak ada empat makna yang berbeda. Namun, Tafsir a-Razi punya pandangan tersendiri: 
‎قال بعضهم: الصراط المستقيم: الإسلام، وقال بعضهم: القرآن، وهذا لا يصح، لأن قوله: صراط الذين أنعمت عليهم بدل من الصراط المستقيم، وإذا كان كذلك كان التقدير اهدنا صراط من أنعمت عليهم من المتقدمين، ومن تقدمنا من الأمم/ ما كان لهم القرآن والإسلام، وإذا بطل ذلك ثبت أن المراد اهدنا صراط المحقين المستحقين للجنة،
 Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa shiratal mustaqim itu Islam atau ada juga yang bilang itu al-Qur’an (lihat kutipan Tafsir at-Thabari di atas). Menurut Imam ar-Razi, pandangan Ini tidak benar, karena ayat selanjutnya (ayat 7) shiratalladzina an’amta ‘alaihim secara nahwu (gramatika Arab) adalah badal atau pengganti yang memperjelas makna shiratal mustaqim di ayat 6. Ini menunjukkan ayat ihdinas shiratal mustaqim itu berkenaan dengan orang-orang terdahulu (yang telah diberi nikmat), dan orang-orang terdahulu itu tidak memiliki Islam dan Qur’an. Ketika kemungkinan pemahaman di atas dihilangkan, maka makna yang lebih pas adalah: tunjuki kami ke jalan orang-orang yang benar dan berhak mendapatkan surga. Pendapat Imam ar-Razi kelihatannya diikuti oleh Tafsir al-Maraghi, tapi bukan berarti pendapat yang dikutip Tafsir at-Thabari dibuang semuanya. Syekh Mustafa al-Maraghi mencoba menjembataninya: ‎
وقد أمرنا باتباع صراط من تقدمنا، لأن دين الله واحد فى جميع الأزمان: فهو إيمان بالله ورسله واليوم الآخر، وتخلق بفاضل الأخلاق وعمل الخير وترك الشر، وما عدا ذلك فهو فروع وأحكام تختلف باختلاف الزمان والمكان، 
Kita telah diperintah untuk mengikuti jalan orang-orang sebelum kita (ini seperti diungkap oleh Tafsir ar-Razi), karena agama Allah itu satu di setiap jaman, yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hari akhir, dan berakhlak dengan akhlak utama dan amal yang baik serta meninggalkan kejelekan. Selain dari itu adalah perkara cabang dan hukum yang berbeda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Di sini, al-Maraghi tidak menolak pandangan bahwa shiratal mustaqim yang dimaksud adalah agama Allah yang intinya satu, dengan pokok ajaran yang sama, meski berbeda tempat dan waktunya. Tafsir al-Qurtubi menyebutkan pendapat lain selain yang sudah disebutkan di atas, yaitu: 
‎وقال الفُضيل بن عِيَاض: «الصراط المستقيم» طريق الحج، وهذا خاص والعموم أولى. قال محمد بن الحنفية في قوله عزّ وجل: { ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ } [الفاتحة: 6]: هو دين الله الذي لا يقبل من العباد غيره. وقال عاصم الأحْوَل عن أبي العالية: { ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ } رسول الله صلى الله عليه وسلم وصاحباه من بعده. قال عاصم فقلت للحسن: إن أبا العالية يقول: «الصراط المستقيم» رسول الله صلى الله عليه وسلم وصاحباه، قال: صدق ونصح. 
Pertama, disebutkan pendapat Fudhail bin ‘Iyad bahwa shiratal mustaqim itu maksudnya jalan menuju ibadah haji. Kata Imam al-Qurthubi, ini makna khusus, sedangkan makna umum lebih baik. Beliau terus mengutip keterangan dari Muhammad bin al-Hanafiyah bahwa yang dimaksud itu adalah agama Allah. Sedangkan kutipan berikutnya sama dengan yang ada di Tafsir at-Thabari di atas, yaitu makna shiratal mustaqim adalah Rasulullah dan kedua sahabatnya. Ungkapan Imam al-Qurthubi bahwa makna umum dari shiratal mustaqim lebih baik, boleh jadi dipenuhi oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir:
 ‎والصراط المستقيم: الطريق المعتدل: طريق الإسلام الذي بعثت به أنبياءك ورسلك، وختمت برسالاتهم رسالة خاتم النبيين، وهو جملة ما يوصل إلى السعادة في الدنيا والآخرة، من عقائد وأحكام وآداب وتشريع ديني، كالعلم الصحيح بالله والنبوة وأحوال الاجتماع. 
Ini jalan yang moderat/tengah. Jalan Islam yang diutus dengan para Nabi dan Rasul, dan ditutup dengan khataman nabiyyin (Nabi Muhammad SAW). Dan ini adalah keseluruhan dari apa yang dapat membawa kepada kebahagiaan di dunia dan akherat, baik dari sisi aqidah, hukum, adab, dan tasyri’ diniy seperti ilmu yang benar tebtang Allah, kenabian dan hal-ihwal kemasyarakatan. Tafsir Ibn Katsir memberikan kesimpulan yang bagus dari diskusi dan perbedaan pendapat para ulama di atas: “Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sahabat yang sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar), berarti dia mengikuti jalan yang haq (benar); dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam. Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur’an, yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.” Terakhir M. Abu Zahrah dalam kitab tafsirnya Zaharatut Tafasir mengingatkan kita semua bahwa doa itu intinya ibadah. Beliau mengutip sebuah riwayat, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dibandingkan doa”. (HR Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad). Ini artinya, kawan-kawan sekalian, doa yang dilakukan pada amalan utama seperti shalat, dan redaksi doanya telah diajarkan langsung oleh Allah pada surat yang utama (al-Fatihah), dan kita baca setiap hari minimal 17 kali (saat shalat fardhu) tentu merupakan sesuatu yang sangat penting. Ihdinas shiratal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus). Next time, saat kita mengucapkan doa ini, resapilah semua makna doa ini sebagaimana yang telah dijelaskan kandungannya oleh para ulama di atas. Menggetarkan! Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107888/tafsir-shiratal-mustaqim-apa-jalan-lurus-itu
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Selasa, 16 Juli 2019

Aqiqah Bayi Lelaki dengan Satu ekor Kambing?

Aqiqah Bayi Lelaki dengan 1 Ekor Kambing?
Sumber: NU Online
Kalau ada penduduk baru keluar dari rahim seorang perempuan, otomatis orang tuanya disunahkan menyembelih kambing. Tentu saja sebelum aqiqah orang tua akan bersyukur lebih dahulu. Tetapi perihal berapa jumlah kambing yang mesti diaqiqahkan dan berapa kali aqiqah harus diadakan, bisa dibicarakan lebih lanjut tergantung keadaan.

Muhammad bin Qasim dalam karyanya Fathul Qaribmenyebutkan, aqiqah disunahkan kembali bagi orang tua seiring dengan kelahiran anak berikutnya.

وتتعدد العقيقة بتعدد الأولاد

Untuk bayi perempuan, lazim disunahkan menyembelih seekor kambing. Sementara aqiqah bayi laki-laki disunahkan menyembelih dua ekor. Jumlah ini menjadi ketentuan. Tetapi kalau keadaan mendesak, aqiqah dengan seekor kambing untuk anak laki-laki bisa mungkin. Tidak mesti dua ekor.

Jangan sampai keadaan seperti keterbatasan kemampuan atau kendala lainnya menghalangi orang tua untuk mengamalkan sunah aqiqah. Syekh Nawawi Banten dalam Hasyiyah Fathil Qarib yang lebih dikenal Tausyih ala Ibni Qasim mengatakan sebagai berikut.

ويحصل أصل السنة عن الغلام بشاة لأنه صلى الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين كبشا كبشا

Artinya, orang tua sudah terhitung mengamalkan sunah aqiqah bagi anak laki-lakinya kendati menyembelih hanya seekor kambing. Pasalnya, Rasulullah SAW sendiri mengaqiqahkan dua cucunya Hasan dan Husein dengan dua ekor domba. Masing-masing satu ekor.

Perihal jumlah aqiqah ini Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi angkat bicara dalam karyanya, Hasyiyatus Syarqawi ala Tuhfatit Thullab sebagai berikut.

فالأقل من الذكر وغيره شاة وأقل الكمال فيه شاتان والكمال لا حد له

Sebenarnya satu ekor kambing menjadi batas minimal aqiqah untuk bayi lelaki dan bayi perempuan. Sementara dua ekor kambing merupakan batas minimal kesempurnaan aqiqah untuk bayi laki-laki. Agama sendiri tidak membatasi jumlah kambing untuk kesempurnaan aqiqah.
Dengan kata lain, agama hanya menyebutkan jumlah minimal. Sementara jumlah maksimalnya tidak ada pembatasan. Artinya silakan saja menyembelih berapa ekor kambing untuk bayi laki-laki atau bayi perempuan sesuai kemampuan si orang tua.
Gampangannya, dua ekor kambing buat bayi laki-laki, aqiqah sempurna di garis minimal. Satu ekor saja, aqiqah terbilang cukup tanpa sempurna. Seberapa banyak kambing aqiqah sesuai kemampuan, terhitung sempurna. Wallahu a’lam. (Alhafiz K)

Senin, 29 April 2019

Gus Mus: Lulusan Pesantren Harus Jadi Manusia Yang Utuh

Gus Mus: Lulusan Pesantren Harus Jadi Manusia yang Utuh

KH Ahmad Mustofa Bisri
Sumber: NU Online
Jombang, NU Online
Para santri diharapkan mampu memahami segala persoalan yang terjadi. Baik persoalan yang berkaitan dengan agama, sosial, budaya maupun yang berhubungan dengan politik.

Demikian ini ditegaskan oleh Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) saat jadi pembicara pada Haflah Akhir Sanah Pondok Pesantren Al-Aqobah Jombang, Jawa Timur, Ahad (28/4).

Gus Mus menyebut, santri yang demikian itu dengan istilah manusia yang utuh. "Diharapkan lulusan pesantren ini (Al-Aqobah) menjadi manusia yang utuh. Nanti kalau jadi kiai mereka bisa berbicara tentang budaya, agama, politik, dan seterusnya," katanya.

Pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini menuturkan, santri di pesantren diajarkan untuk tidak hanya paham ilmu namun juga akhlak. Ini pula yang menurutnya mendorong santri menjadi manusia yang utuh. 

Dalam istilah pesantrennya, imbuh dia, antara ta'lim dan tarbiyah sama-sama diajarkan dengan seimbang. "Pengajaran disebut tarbiyah, dan ta'lim hanya sebatas memberikan informasi, dua-duanya diajarkan di pesantren," jelasnya.

Terdapat perbedaan antara tarbiyah dan hanya sekedar ta'lim dalam penerapannya. Aspek tarbiyah banyak ditemui di pesantren dan minim di sekolah-sekolah bahkan di perguruan tinggi. Sementara aspek ta'lim yang lebih mendominasi dibandingkan tarbiyah banyak diterapkan di sekolah dan perguruan tinggi.

"Contoh ta'lim dikasih informasi Qur'an,  ya ngerti tentang Qur'an. Tapi urusan kelakuan (sikap) yang sama dengan ayat-ayat Al-Qur'an itu urusan tarbiyah," jelasnya.

Gus Mus menegaskan, hingga kini aspek tarbiyah juga ta'lim terus diajarkan di pesantren, meski terkadang ada pesantren yang lebih mementingkan dan mendahulukan sisi tarbiyahnya dibandingkan ta'limnya. "Jadi betul kalau di pesantren menyebut ada pendidikan dan pengajaran (ta'lim dan tarbiyah)," pungkasnya. (Syamsul Arifin/Muiz)

Kamis, 14 Maret 2019

Bahkan Putusnya Tali Sandal Jepitmu itu karena Dosamu

Bahkan Putusnya Tali Sandal Jepitmu itu karena Dosamu
Ilustrasi (via filozofia.al)
Sumber: NU Online
Pernahkah Anda mengalami ketika shalat berjamaah di masjid yang penuh sesak tiba-tiba Anda merasa ada cairan yang jatuh di kepala Anda dan ternyata itu adalah kotoran cicak? Atau, pernahkah Anda menaiki sepeda motor di depan sebuah pasar tradisional yang ramai dan tiba-tiba ban sepeda motor Anda terkena paku hingga Anda harus menuntunnya menuju tukang tambal ban?

Bila Anda pernah mengalami itu semua atau yang semisalnya, atau kelak hal semacam itu terjadi pada diri Anda, janganlah menggerutu, marah atau bahkan menyalahkan pihak lain yang belum tentu bersalah. Salahkan saja diri Anda dan introspeksilah. Karena bisa jadi terjadinya sesuatu yang tak menyenangkan pada diri Anda dikarenakan karena dosa dan kesalahan yang pernah Anda perbuat sebelumnya, mungkin satu atau dua jam yang lalu, dua atau tiga hari yang lalu, atau bahkan mungkin dosa yang pernah Anda perbuat sekian tahun yang lalu.

Mengapa demikian?

Allah subhânahû wa ta’âlâ berfirman di dalam Surat An-Nisa ayat 79:

وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Artinya: “Dan apapun yang mengenaimu berupa kejelekan maka itu dari dirimu sendiri.”

Penjelasan para ulama ahli tafsir dalam menafsirkan ayat ini menunjukkan satu kesimpulan bahwa kejelekan apapun yang menimpa diri seseorang adalah karena perbuatan dosa yang telah dilakukannya. Dalam kitab Tafsîr Jalâlain misalnya dijelaskan bahwa kejelekan itu mendatangimu karena dosa-dosa yang telah engkau lakukan mengakibatkan terjadinya kejelekan itu (Jalaludin As-Suyuthi dan Jalaludin Al-Mahalli, Tafsîr Jalâlain, [Kairo: Darul Hadis, tt.], hal. 114). 

Sementara Imam ‘Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi atau yang lebih dikenal dengan Al-Khazin di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kejelekan yang menimpa dirimu berupa kesulitan, kepayahan, hal yang tak disenangi, dan penyakit itu semua berasal dari dirimu sendiri sebab dosa yang engkau perbuat menyebabkan terjadinya semua itu. Dan kejelekan itu menimpamu sebagai hukuman atas dosamu itu (‘Alauddin Ali Al-Baghdadi, Tafsîr Al-Khâzin, [Mesir: Darul Kutub Al-Arabiyah Al-Kubra, tt.], juz I, hal. 404).

Lebih jauh dari itu Syekh Nawawi Banten di dalam kitab tafsirnya Marâh Labîd mengutip sebuah perkataan yang dinisbatkan kepada Sayyidatina Aisyah radliyallâhu ‘anhâ:

وعن عائشة رضي الله عنها ما من مسلم يصيبه وصب ولا نصب حتى الشوكة يشاكها، وحتى انقطاع شسع نعله إلا بذنب وما يعفو الله عنه أكثر 

Artinya: “Dari Sayidatina Aisyah radliyallâhu ‘anhâ: tidaklah seorang muslim terkena sakit dan kepayahan, hingga terkena duri dan terputusnya tali sandal jepitnya, kecuali disebabkan suatu dosa, dan dosa yang dimaafkan Allah lebih banyak.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marâh Labîd, [Beirut: Darul Fikr, 2007], juz I, hal. 179)

Dari sini sangat jelas bahwa hal apapun yang tidak menyenangkan, baik yang berat maupun yang ringan, yang besar maupun yang kecil, yang menimpa diri seseorang itu merupakan efek dari perbuatan dosa yang telah dilakukannya. Bahkan terputusnya tali sandal jepit yang bagi kebanyakan orang sebagai sesuatu yang lumrah terjadi pun merupakan efek dan hukuman atas dosa yang telah lalu.

Dapat dipahami pula bahwa pada dasarnya setiap dosa yang dilakukan seorang manusia akan membawa efek buruk bagi dirinya. Hanya saja rahmat Allah lebih luas. Bahwa dosa-dosa yang diampuni Allah sehingga tak menimbulkan efek buruk bagi pelakunya jauh lebih banyak dari dosa yang mengakibatkan hukuman bagi pelakunya, sebagaimana disebutkan Syekh Nawawi di atas. Tidak bisa dibayangkan, bila tanpa ampunan dan rahmat Allah setiap dosa selalu berefek buruk bisa jadi tak ada seorang pun yang hidup di dunia ini dengan tenang karena setiap harinya ia selalu ditimpa kesusahan akibat tumpukan dosa yang dilakukannya.

Yang juga perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat apa yang dijelaskan di atas semestinya digunakan untuk menasihati diri sendiri, bukan untuk menghakimi dan menghukum orang lain. Tidak pas kiranya bila seorang teman sedang sakit kemudian kita mengatakan kepadanya bahwa sakitnya itu karena banyaknya dosa yang ia lakukan. Sebaliknya, justru ketika diri kita terkena musibah atau kesusahan lainnya maka kita mesti introspeksi dan mawas diri bahwa kita pastilah telah melakukan satu kesalahan sehingga Allah menghukum dengan kesusahan itu.

Lalu adakah satu cara agar terhindar dari efek-efek buruk akibat perbuatan dosa yang dilakukan, mengingat setiap orang setiap harinya bisa jadi tak lepas dari dosa?

Imam Abu Hayan Al-Andalusi di dalam kitab tafsirnya menyampaikan:

وَاسْأَلُوهُ الْمَغْفِرَةَ، إذا هِيَ رَأَسُ الْعَمَلِ الَّذِي بِحُصُولِهِ تَزُولُ التَّبِعَاتُ

Artinya: “Mintalah ampunan kepada Allah karena ampunan itu pokok amal yang bila didapatkan maka akan hilanglah efek-efek buruk (perbuatan dosa).” (Abu Hayan Al-Andalusi, Al-Bahrul Muhîth, [Beirut: Darul Fikr, 2005], juz IX, hal. 286)

Ya, dengan memperbanyak istighfar meminta ampunan kepada Allah diharapkan dapat terhindar dari efek buruk sebagai hukuman atas dosa yang dilakukan. Wallâhu a’lam


Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal.

Jumat, 27 Juli 2018

Tahlilan untuk Mayyit

D A L I L  T A H L I L A N

Yang dibilang mengambil ajaran Hindu oleh Wahhabi: 3 hari, 7 hari, 25 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 Hari.

Tak henti-hentinya Wahabi Salafi menyalahkan Amaliyah ASWAJA, khususnya di Indonesia ini. Salah satu yang paling sering juga mereka fitnah adalah Tahlilan yang menurutnya tidak berdasarkan Dalil bahkan dianggap rujukannya dari kitab Agama Hindu. Untuk itu, kali ini saya tunjukkan Dalil-Dalil Tahlilan 3, 7, 25, 40, 100, Setahun & 1000 Hari dari Kitab Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan kitab dari agama hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨

Rasulullah saw bersabda: “Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayyit.”
Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”

Referensi : (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)

Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan ?

Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit.

ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎما، ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ : ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ

Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan–hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib:

Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang–orang pun mengulurkan tangannya masing–masing dan makan.

Referensi: [Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]

Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi:

ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﻭﺱ : ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ

Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”

ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ : ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ , ﻓﺎﻣﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ ﻭﺍﻣﺎﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ

Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari.”

Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi

ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺻﻮﻟﻬﻤﺎ ﻭﻣﻨﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ

bacaan alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi’i yang lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.

Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:

ﺍَﻣَّﺎ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَـِﺎﻧَّﻪُ ﻳَﻨْـﺘَـﻔِﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺎﺗِّـﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ. ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺭَﺩَﺕْ ﺑِﺬٰﻟِﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﺣَﺎ ﺩِﻳْﺚُ ﺻَﺤِﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻝِ ﺳَﻌْﺪٍ ( ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍِﻥَّ ﺍُﻣِّﻲْ ﺍُﻓْﺘـُﻠِﺘـَﺖْ ﻧَﻔْﺴُﻬَﺎ ﻭَﺍَﺭَﺍﻫَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَـﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﺗَﺼَﺪَّﻗَﺖْ ﻓَﻬَﻞْ ﻳَﻨْـﻔَـﻌُﻬَﺎ ﺍَﻥْ ﺍَﺗَـﺼَﺪَّﻕَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻧَـﻌَﻢْ , ﻭَﻛَﺬٰﻟِﻚَ ﻳَـﻨْـﻔَـﻌُﻪُ ﺍﻟْﺤَﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍْﻻُ ﺿْﺤِﻴَﺔُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻌِﺘْﻖُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺍْﻻِﺳْﺘِـْﻐﻒُﺭﺍَ ﻟَﻪُ ﺑِﻼَ ﻧِﺰﺍَﻉٍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔِ .

“Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315)

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:

ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺍُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻤَﻴِّﺖٍ ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺻِﻴﺎَﻡٍ ﺍَﻭْ ﺻَﻼَﺓٍ ﺍَﻭْ ﻗِﺮَﺋَﺔٍ ﺟَﺎﺯَ ﺫَﻟِﻚَ

Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an / kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322)

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;

ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔً ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻝُﻩَ. ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ: ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ خَتَمُوْا اْلقُرْآنَ كَانَ اَفْضَلَ ) المجموع جز 5 ص 258(

“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai mengha tamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;

ﻭَﻳُـﺴْـﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻠﺰَّﺍﺋِﺮِ ﺍَﻥْ ﻳُﺴَﻠِّﻢَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺰُﻭْﺭُﻩُ ﻭَﻟِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺍَﻫْﻞِ ﺍْﻟﻤَﻘْﺒَﺮَﺓِ. ﻭَﺍْﻻَﻓْﻀَﻞُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑِﻤَﺎ ﺛَﺒـَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭَﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃٰﻥِ ﻣَﺎ ﺗَﻴَﺴَّﺮَ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﻘِﺒَﻬَﺎ ﻭَﻧَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ. (ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺟﺰ 5 ص 258 )

“Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.

Referensi : (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮﺍَﺀَﺓِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻭَﻗَﺪْ ﺭُﻭِﻱَ ﻋَﻦْ ﺍَﺣْﻤَﺪَ ﺍَﻧَّـﻪُ ﻗَﺎﻝَ: ﺍِﺫﺍَ ﺩَﺧَﻠْﺘﻢُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺍِﻗْﺮَﺋُﻮْﺍ ﺍَﻳـَﺔَ ﺍْﻟﻜُـْﺮﺳِﻰِّ ﺛَﻼَﺙَ ﻣِﺮَﺍﺭٍ ﻭَﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍَﺣَﺪٌ ﺛُﻢَّ ﻗُﻞْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍِﻥَّ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ .

Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

Referensi : (al-Mughny II/566)

Dalam al Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:

ﻭَﺫَﻫَﺐَ ﺍَﺣْﻤَﺪُ ْﺑﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓـِﻌﻰ ﺍِﻟﻰَ ﺍَﻧـَّﻪُ ﻳَـﺼِﻞ

Wallohu a’lam Bishshowab

Minggu, 20 Mei 2018

Bacaan Bilal dan Jawabannya dalam Tarawih

Bacaan Bilal dan Jawabannya dalam Tarawih
Sumber: NU Online
Ramadhan telah tiba kembali. Semua orang menyambut dengan penuh gembira. Tidak hanya orang tua, tetapi juga orang dewasa dan anak-anak kecil. Dan memang begitulah seharusnya. Karena merasa gembira dengan kedatangan Ramadhan adalah sebuah pahala tersendiri.
Sebagaimana keterangan dalam hadits Rasulullah saw yang isinya:
من فرح بدخول رمضان حرّم الله جسده على النيران
Barang siapa gembira masuknya bulan Ramadhan, maka Allah swt. mengharamkan jasadnya dari api neraka.
Memang gembira adanya di perasaan dan di dalam hati, akan tetapi harus diejawantahkan dalam amaliah keseharian. Mulai dari sedekah, zakat, memperbanyak sedekah dan amaliah Ramadhan lainnya, terutama tarawih yang merupakan bukti kegembiraan dan keseriusan seseorang dalam menyambut Ramadhan. Begitu semangatnya dalam terawih sehingga tidak sedikit jama’ah yang asal berteriak tanpa mengerti subtansinya, apalagi makna dan isinya.
Oleh karena itulah menjadi penting mengingatkan kembali bacaan bilal dan bagaimana cara menjawabnya dalam tarawih..
Jawaban Jamaah
Bacaan Bilal
No
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
2
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَلْخَلِيْفَةُ اْلاُوْلَى سَيِّدُنَا اَبُوْ بَكَرْ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
3
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
4
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ 
اَلْخَلِيْفَةُ الثَّانِيَةُ سَيِّدُنَا عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابْ
5
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
6
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ 
اَلْخَلِيْفَةُ  الثَّالِثَةُ سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
7
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
8
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
كرم الله وجهه 
اَلْخَلِيْفَةُ الرَّابِعَةُ سَيِّدُنَا عَلِيْ بِنْ اَبِيْ طَالِبْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
9
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
اَمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ
اَخِرُ التَّرَاوِيْحِ اَجَرَكُمُ اللهُ
10
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bacaan Bilal Shalat Witir
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ رَكْعَةَ الْوِتْرِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
2

Demikianlah sebaiknya para jama’ah mengerti persis apa yang diucapkan bilal tarawih dan apa jawaban jama’ah. (red. Ulil H)

Selasa, 20 Maret 2018

Bolehkah Memejamkan Mata saat Shalat?

Bolehkah Memejamkan Mata Saat Shalat?
(Foto: pinterest)
Sumber: NU Online 
Shalat yang khusyuk lebih utama dari shalat yang tidak khusyuk. Bahkan sebagian ulama, seperti Imam Al-Ghazali, mensyaratkan shalat harus dalam keadaan khusyuk. Lalu bolehkan memejamkan mata saat shalat untuk mendapatkan kekhusyukan?

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengupayakan shalat yang khusyuk. Sebagian orang menundukkan pandangan. Sebagian lagi melakukan shalat di tempat gelap. Ada juga yang melakukan shalat di tempat yang tenang atau jauh dari jalan raya, dan lain-lain.

Sebagian orang sengaja memejamkan mata ketika shalat. Tujuannya agar pikiran dan hatinya tetap tenang. Padahal dalam shalat juga kita dianjurkan mengarahkan pandangan ke tempat sujud. Pertanyaan yang muncul di tengah masyarakat adalah bagaimana hukum memejamkan mata ketika shalat?

Syekh Abu Bakar Syaththa Ad-Dimyati dalam I’anatut Thalibin merinci hukum memejamkan mata menjadi empat perincian:

Pertama, memejamkan mata saat shalat pada asalnya boleh dan tidak makruh karena memang tidak ada larangan khusus soal itu. Memajamkan mata dalam shalat dibolehkan selama aman dan tidak membahayakan. Ia mengatakan:

ولا يكره تغميض عينيه، أي لأنه لم يرد فيه نهي

Artinya, “Tidak dimakruhkan memejamkan mata saat shalat karena tidak ada dalil yang melarangnya.”

Kedua, memejamkan mata ketika shalat diwajibkan ketika ada yang tidak menutup aurat dalam saf shalat. Ini biasanya jarang terjadi, kecuali pada masyarakat yang sedang mengalami krisis pakaian.

Pada situasi tertentu, kalau pakaian yang menutup aurat tidak ditemukan, atau sarana lain yang digunakan untuk menutup aurat juga tidak ada, dibolehkan shalat dalam kondisi tanpa busana. Dalam situasi seperti ini kita diwajibkan memejamkan mata. Syekh Abu Bakar mengatakan:

وقد يجب التغميض إذا كان العرايا صفوفا

Artinya, “Wajib memejamkan mata kalau ada yang tidak busana dalam saf shalat.”

Ketiga, memejamkan mata disunnakan kalau shalat di tempat yang banyak gambar dan ukiran. Memejamkan mata disunnahkan dalam kondisi ini bila gambar dan ukiran tersebut bisa menganggu pikiran kita. Dalam I’anatul Thalibin dijelaskan:

وقد يسن كأن صلى لحائط مزوق ونحوه مما يشوش فكره

Artinya, “Disunahkan memejamkan mata bila shalat dekat dinding yang diukir dan seumpamanya jika hal itu bisa menganggu pikiran.”

Keempat, dimakruhkan memejamkan bila berbahaya, yaitu shalat di tempat yang banyak ular atau binatang yang membahayakan karena memejamkan mata bisa membahayakan tubuh.

Dengan demikian, bagi yang terbiasa memejamkan mata saat shalat pada intinya hukumnya itu boleh selama tidak membahayakan. Wallahu a'lam

Selasa, 06 Maret 2018

Antara Kartu Kuning Jokowi dan Mars Yalal Wathan Banser

Antara Kartu Kuning Jokowi dan Mars Yalal Wathan Banser
Sumber: NU Online
Oleh Muhammad Syamsudin

Ketika Presiden Jokowi menghadiri acara Dies Natalis Ke-68 Universitas Indonesia di Depok pada Jumat (2/2), di tengah situasi ia sedang berpidato memberi sambutan, tiba-tiba ada aksi nyentrik dari seorang Ketua BEM UI mengangkat kartu kuning sambil meniupkan peluit yang diacungkan ke Presiden Jokowi. Akibat ulahnya ini, si mahasiswa yang diketahui namanya sebagai Zaadit Taqwa langsung diamankan oleh Paspampres dan diminta agar keluar dari forum tersebut.

Tak urung, aksi ketua BEM ini menjadi viral di sejumlah media dan mendapatkan sambutan komentar dan tanggapan yang beraneka ragam dari berbagai pihak. Tidak hanya masyarakat, melainkan juga sejumlah politisi yang terkenal vokal dan selalu mengkritik setiap kebijakan Presiden Jokowi, juga turut memberikan andil melakukan aksi serupa di sejumlah forum lain. Bahkan, ada yang memakai kartu merah yang artinya adalah penalti bagi Presiden dan layak menerima  impeachment

Karuan komentar dari Netizen menjadi semakin memanas. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagian yang pro, menanggapi bahwa aksi Ketua BEM tersebut sebagai aksi yang wajar, dan kreatif. Adapun yang kontra, menanggapinya dengan mengatakan bahwa aksi tersebut adalah tidak sopan, aksi pesanan, dan tidak wajar. Apalagi bila memandang fokus utama objek yang menjadi aksi bila dikaitkan dengan kejadian luar biasa (KLB) di Asmat. Terakhir, Presiden Jokowi dalam kesempatan terpisah menawarkan akan mengirim mereka ke Asmat agar tahu kondisi riel yang sebenarnya di lapangan sehingga bisa mengetahui bagaimana sulitnya pemerintah menembus wilayah suku Asmat ini dan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi peristiwa tersebut. Dijawab secara terpisah, bahwa ketua BEM ini akan berangkat sendiri ke Asmat bersama dengan BEM UI yang lain dengan dana sendiri, yang disertai dengan berbagai alasan tidak mau menggunakan dana pemerintah. 

Garis besarnya adalah, dalam setiap aksi, pasti ada maksud dan tujuan. Apalagi bila aksi tersebut dinilai tidak wajar. Sudah barang tentu, akan ada yang pro dan kontra menanggapi aksi tersebut. Lepas dari ada yang menilai sebagai kewajaran atau tidak, berkeadaban atau tidak, itu adalah hal yang wajar dalam iklim demokrasi di Indonesia. Yang terpenting adalah selagi tidak menggunakan cara yang radikal, seperti membuat kerusuhan, menabrak aturan menyampaikan pendapat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal itu masih dipandang wajar. Hebatnya, pemerintah juga tidak menanggapi sebagai anti kemapanan sehingga layak dipenjarakan sebagaimana iklim politik di era Orde Baru, dulu. 

Lantas apa hubungannya dengan Mars Yalal Wathan dan Ansor-Banser? Beberapa hari ini media sosial juga sedang diramaikan oleh tanggapan sebuah aksi nyentrik dari kaum muda Ansor dan Banser yang tengah melakukan umrah. Di tengah situasi umrah dan berada di lokasi mas’a, mereka berdoa, lalu disambung dengan membaca butir-butir Pancasila. Sebagian video yang lain, secara berombongan, mereka menyanyikan lagu Mars Yalal Wathan.

Tentu, netizen yang menyimak aksi yang tidak biasa ini akan menanggapi pula dengan tanggapan yang beragam sehingga pro dan kontra pun terjadi. Berbagai perang opini dan dalil terjadi di dunia media sosial. Ada yang meninjaunya dari sisi adab, ada pula yang meninjau dari sisi hukum. Dari sini muncul perdebatan yang sengit. Ada yang memandang boleh dan kewajaran dan ada yang memandang makruh. Penulis dalam hal ini belum menemui adanya kajian yang memandang ketidakbolehannya. Level terendah dari hasil kajian hukum secara Fiqih adalah makruh. 

Di sisi yang lain, ada yang menanggapi dan mengaitkan dengan sisi hubungan diplomatik antara Indonesia-Arab yang terancam renggang akibat ulah Banser ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Jamaah Islam Nusantara (demikian sebut mereka) sebaiknya dipinalti tidak boleh melakukan Umrah dan Haji lagi. Ada seorang dai dari Malang dalam sebuah akunnya, juga menyebut bahwa sebaiknya Biro Tour dan Travel yang memberangkatkan mereka di Pinalti saja. Tak urung, berbagai tanggapan ini gencar disuarakan dalam media sosial dengan berbagai argumen. Persis seperti ketika Ketua BEM UI mengacungkan Kartu Kuning dan meniup peluit ke Presiden Jokowi saat itu. 

Penulis dalam kesempatan ini mencoba membaca dari sisi lain. Setelah lama merenung, saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa Banser tidak berdendang dengan syair Shalawat Badar, atau al-salaamu ‘alaik saja? Kenapa yang dibaca juga Pancasila? Kok bukan Teks Sumpah Pemuda atau UUD 1945? Bukankah itu sama-sama nyentrik dan nyleneh bila itu dipraktikkan? Pertanyaan-pertanyaan itu, mencoba dianalisa oleh penulis. Tidak mungkin kaum muda NU ini melakukan tanpa alasan. Soal adab, mereka juga pernah mengaji adab. Soal rangkaian ibadah umrah, mereka tentu juga pernah mengaji. Apalagi soal mubthilatul umrah–perkara yang membatalkan umrah—sedikit banyak mereka tentu pernah mengaji. Apalagi beberapa dari mereka adalah jebolan pesantren salaf terkenal di Pulau Jawa, bahkan ada yang alumni Timur Tengah yang fasih dalam kajian kitab. Seorang santri pasti tahu adab dalam hal ini. Jadi, jelas bahwa ini pasti ada motif. Tapi, apa yang mendorong mereka melakukan hal yang tidak biasa itu? Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisa
Mars Yalal Wathan merupakan Mars karya dari Hadlratus Syeikh KH. Wahab Hasbullah yang isinya sebuah pernyataan cinta negeri. Bahkan ada dalam bait lirik Mars tersebut kalimat hubbul wathan mina al-iman yang artinya cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Bahkan dalam bait terakhir ada bunyi lirik “siapa datang mengancammu, kan binasa di bawah dulimu.” Ini umrah, kenapa bersyair dengan hal yang berbau cinta negeri dan membentengi negara? Demikian juga di dalam salah satu sila Pancasila, ada kalimat Persatuan Indonesia. Kalian sedang berada di Arab Saudi, mengapa membunyikan Persatuan Indonesia? Apa maksud kalian?

Pilihan syair yang didendangkan dan tidak biasa ini tentu memiliki ikatan yang kuat dengan realitas di tempat mereka tinggal dan berada. Di mana lagi kalau bukan di Indonesia? Pilihan lokasi yang tepat di pusat icon internasional umat Islam tanpa membawa bendera tentu juga menjadi hal yang unik. Selama ini bertebaran fatwa dari beberapa pihak bahwa nasionalisme tidak ada dasarnya di dalam Islam. Kali ini mereka menjawab dengan tegas dan lantang bahwa hubbu al-wathan mina al-iman. Dari sisi politik dunia Internasional, suara lantang mereka di icon internasional umat Islam tentu akan menjadi sorotan dunia. Dunia akan membaca, bahwa bila Islam dimaknai sebagai yang tidak cinta tanah air dan tidak punya nasionalisme adalah logical falacy (kesalahan logika). Realitasnya, Indonesia dengan muslim terbesar di dunia dan NU sebagai mayoritas dari umat Islam masih memandang bahwa Nasionalisme adalah bagian daripada iman. 

Bila isu umat Islam di dunia adalah terkait dengan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seolah Islam lewat Ansor dan Banser NU sudah menjawabnya bahwa persatuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebuah hal yang mutlak dan penting. Ansor dan Banser NU masih memandang bahwa Indonesia dalam kondisi yang beraneka ragam suku dan budaya, serta agama, merupakan hal mutlak yang harus dijaga. Dengan demikian, seolah kumandang mereka tentang Pancasila dalam bagian rangkaian umrah ini dimaknai sebagai komitmen, bahwa Ansor dan Banser meneguhkan diri sebagai penjaga NKRI. Bait terakhir syair Yalal Wathan yang menyuarakan “siapa datang mengancammu, kan binasa di bawah dulimu,” seolah dengan bait ini, Ansor dan Banser NU menyuarakan tidak setujunya dengan semua aksi massa yang mengarah kepada separatisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dengan demikian, penulis dalam kesempatan ini memaknai bahwa tindakan unik yang dilakukan oleh teman-teman Ansor dan Banser ini sejatinya ibarat kartu kuning bagi mereka yang meneriakkan nasionalisme tidak ada dalilnya. Layaknya kartu kuningnya ketua BEM UI ke Presiden Jokowi. Tindakan ini seolah juga bermakna ibarat kartu merah bagi siapa saja yang menyuarakan isu konflik SARA di Indonesia tentunya. Ibarat kartu merah yang dikeluarkan oleh beberapa kaum politisi dan ditujukan ke Presiden Indonesia saat ini juga. Pilihan lokasi di tanah suci, ibarat kartu yang dikeluarkan di tengah massa dan dalam kondisi tidak biasa. Secara adab, pasti kurang etis. Namun, secara efek sosial, pasti ada pengaruhnya. Apakah perlu teguran? Menurut hemat penulis, tanpa teguran pun, penulis meyakini bahwa Ansor dan Banser NU sudah tahu kapan berhenti bersuara dan kapan harus bersuara. Karena mereka adalah santri yang “harus” berbaju “doreng” dan bukan pihak yang memakai “kalung surban.” Wallahu A’lam.

Penulis adalah Direktur Aswaja NU Center PCNU Bawean dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Rabu, 28 Februari 2018

Hukum Keredit Perumahan Rakyat dan Kendaraan Bermotor

Hukum Kredit Perumahan Rakyat dan Kendaraan Bermotor
Sumber: NU Online 
Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi yth, kami mau bertanya soal bagaimana hukumnya pembelian sistem kredit KPR dan kredit kendaraan bermotor. Apakah dikategorikan Riba? Dan bagaimana hukum kredit rumah subsidi? Apakah juga mengandung riba? Wassalamu’alaikum wr wb. (Mas'ud Arifin dan Waridin) 

Jawaban
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Saudara penanya yang budiman,semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua dan membimbing kita dijalan-Nya!

Hukum jual beli secara kredit (bai’ taqshith) pada hakikatnya adalah boleh, karena Rasulullah SAW sendiri pernah mempraktikannya. Praktik transaksinya merupakan transaksi tabarru’, yaitu semata dimaksudkan untuk kebutuhan sosial dan tolong menolong.

Dewasa ini, praktik jual beli kredit di sejumlah lembaga pembiayaan/lembaga perkreditan dilakukan melalui dua model, yaitu: 

1. Kredit disertai dengan uang muka (Down Payment/DP). 

Apabila ada uang muka (termasuk di dalamnya adalah subsidi pemerintah), maka akad pembiayaan/perkreditan jenis ini disebut dengan akad musyarakah mutanaqishah bi nihaayatit tamlik. Nama lain dari akad ini adalah akad ijarah muntahiyah bit tamlik, yaitu sebuah akad sewa guna usaha yang disertai dengan akhir berupa perpindahan kepemilikan sepenuhnya kepada pembeli. Ciri yang dibenarkan secara fiqih bila menjalankan akad ini adalah:

● Harga barang ditentukan di awal. Uang muka yang berasal dari pembeli dan/atau berasal dari subsidi secara tidak langsung menjadi bagian dari modal/saham pembeli terhadap aset.

● Besaran harga sewa ditentukan di awal dan dibagi menurut porsi kepemilikan kedua pihak yang berserikat terhadap aset yang disewakan. 

● Harga sewa semakin menurun seiring angsuran terhadap harga pokoknya. Dan apabila tidak ada penurunan harga sewa, maka akad musyarakahnya menjadi fasidah (rusak), sedangkan selisih uangnya bisa disebut sebagai riba.

ولا يجوز أيضا قرض نقد  أو غيره إن اقترن بشرط رد صحيح عن مكسر أو رد زيادة على القدر المقدر أو رد جيد عن ردئ أو غير ذلك من كل شرط جر نفعا للمقرض ببلد أخر أو رهنه بدين أخر فإن فعل فسد العقد لأن كل قرض جر نفعا فهو ربا

Artinya: “Tidak boleh utang nuqud (emas/perak) atau selainnya jika disertai dengan syarat pengembalian berupa barang bagus serta tidak pecah, atau tambahan takaran tertentu, atau mengembalikan berupa barang bagus dari barang jelek, dan seterusnya, termasuk semua syarat yang memberi manfaat [tambahan] kepada orang yang memberi utang yang berada di negara lain (misal: beda kurs) atau gadai dengan hutang yang lain (agunan), maka jika dilakukan hal semacam ini (oleh muqridl), maka rusaklah akad, karena sesungguhnya setiap utang yang muqridl mengambil manfaat [dari pihak yang dihutangi] adalah sama dengan riba.” (Lihat Muhammad bin Salim bin Said Babashil al-Syafi’iy, Is’adu al-Rafiq wa Bughyatu al-Shiddiq, Singapura: Al-Haramain, Tanpa Tahun, Juz: 1/142)

2. Kredit dengan DP 0%. 

Bila tidak ada uang muka, maka akad pembiayaan seperti ini disebut dengan akad bai’ murabahah, yaitu jual beli dengan disertai tambahan keuntungan bagi Lembaga Pembiayaan atau Lembaga Perkreditan. 

Ciri praktik akad ini adalah:

● Ketiadaan uang muka (down payment)
● Harga barang ditentukan di muka dan biasanya lebih mahal dari harga pembelian secara kontan
● Cicilan pembayaran memiliki jumlah tetap dari awal hingga akhir waktu angsuran.
● Ada kesepakatan lama angsuran, misalnya diangsur 2 kali selama satu tahun, 3 kali, dan atau bahkan setiap bulan. Karena besar angsuran yang tetap ini, maka jual beli semacam ini sering diistilahkan dengan bai’ taqshithbai’ muajjalan atau bai’ bi al-tsamani al-ajil. Masing-masing akad, hukumnya boleh dilakukan, karena masuk kategori akad tabarru’ dan ta’awun(sosial).

Sebagai kesimpulannya adalah bahwa jual beli secara kredit adalah diperbolehkan dalam syariat dengan syarat harga ditentukan di awal. Pembelian KPR dan kendaraan bermotor dengan sistem kredit, adalah tidak mengandung unsur riba manakala mengikuti akad musyarakah muntahiyah bit tamlik atau bai’ murabahah. Bila jual beli disertai dengan adanya DP (Down Payment) sementara besaran angsuran adalah tetap (fixed) selama berlangsungnya masa cicilan kredit/angsuran, maka hal ini menandakan ada unsur riba di dalam akad jual beli tersebut karena dalam musyarakah mutanaqishah mensyaratkan turunnya harga sewa seiring masa angsuran/penebusan kredit.

Saran kami, apabila saudara penanya berniat melakukan pembelian KPR atau kendaraan dengan skema kredit, maka cermatilah terlebih dahulu akadnya! Bila sulit untuk mencermati, maka pakailah akad yang kedua yaitu bai’ murabahah dengan ciri “cicilan tetap” sebab lebih menyelamatkan dari sisi riba. Selanjutnya pertimbangkan bahwa uang yang saudara berikan kepada pihak developer atau dealer di muka adalah sebagai “angsuran pertama” saudara! Ingat, sebagai “angsuran pertama” dan bukan sebagai “modal berserikat” sebagaimana praktik akad musyarakah mutanaqishah. Dengan cara ini, apabila terjadi angsuran dengan jumlah yang tetap di belakangnya, maka anda tidak terkena had transaksi ribawi. Cara ini adalah solusi bagi penanya apabila penanya mengambil kredit tersebut berasal dari Lembaga Perkreditan Konvensional. 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat bagi kita semua. AamiinWallahu a'lam.

Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur

Selasa, 27 Februari 2018

Hukum Menyentuh Istri, Apakah Batalkan Wudhu?

Hukum Menyentuh Istri, Apakah Batalkan Wudhu?
Sumber: NU Online

Pertanyaan 
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang baik, saya mau bertanya tentang hukum suami-istri bersentuhan. Apakah ada imam yang menyatakan tidak membatalkan wudhu? Dan bagaimana hukum/kaifiyahnya apabila kita mengikuti pendapat imam tersebut? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Miftahul Jinan)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah selalu merahmati kita semua. Mengenai persoalan menyentuh istri apakah membatalkan wudhu apa tidak, sebenarnya merupakan persoalan yang sejak dulu diperselisihkan para fuqaha.

Pendapat yang populer di kalangan umat Islam Indonesia adalah pendapat yang menganggap bahwa menyentuh istri membatalkan wudhu jika tanpa penutup atau aling-aling (bi duni ha`il), kecuali rambut, gigi, dan kuku.

Pendapat lain menyatakan bahwa menyentuh perempuan baik istri, perempuan ajnabiyyah, atau mahramnya tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik diiringi syahwat maupun tidak. Ini adalah pandangan yang dianut para ulama dari madzhab Hanafi. Sedangkan menurut Imam Malik, sepanjang menyentuhnya tidak diiringi syahwat maka wudhu tidak batal.

( وَلَا يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ الْقُبْلَةِ ، وَمَسُّ الْمَرْأَةِ بِشَهْوَةٍ ، أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ ) ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ ذَلِكَ ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، وَهُوَ اخْتِلَافٌ مُعْتَبَرٌ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ حَتَّى قِيلَ يَنْبَغِي لِمَنْ يَؤُمُّ النَّاسَ أَنْ يَحْتَاطَ فِيهِ ، وَقَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ إنْ كَانَ عَنْ شَهْوَةٍ يَجِبُ ، وَإِلَّا فَلَا

Artinya, “Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya baik dengan syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra. Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu Mas’ud. Persoalan ini dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa awal sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi orang lain untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam Malik, wajib wudhu jika diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa syahwat,” (Lihat Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1421 H/2000 M, juz I, halaman 121).

Dari penjelasan singkat ini tampak jelas bahwa memang ada pandangan yang menyatakan bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu. Namun persoalannya, tidak hanya sampai di sini. Sebab ada pertanyaan lanjutan yang terkait bagaimana hukum dan cara mengikuti pendapat yang menyatakan tidak batal?

Dalam benak kami, pertanyaan kedua terkait dengan mayoritas masyarakat muslim Indonesia sebagai penganut madzhab Syafi’i di mana dalam pandangan madzhab tersebut menyentuh istri tanpa penutup adalah membatalkan wudhu.

Sedangkan pendapat yang menyatakan tidak batal adalah madzhab hanafi. Ilustrasi ini menurut hemat kami adalah yang melarbelakangi munculnya pertanyaan kedua yaitu mengenai hukum dan cara mengikuti atau bertaklid kepada pandangan yang menyatakan bahwa menyentuh isteri tanpa penutup tidak membatalkan wudlu.

Persoalan ini merupakan persoalan yang diperdebatkan para ulama. Karena keterbatasan kemampuan, kami tidak bisa menjelaskan secara menyeluruh. Terlebih dahulu kami akan menjelaskan sedikit mengenai wudhu dalam pandangan madzhab Hanafi dan Syafi’i, terutama terkait soal membasuh kepala. Bagi madzhab Hanafi yang wajib adalah mengusap seperempat kepala. Sedangkan bagi madzhab syafi’i, yang wajib adalah cukup dengan sesuatu yang dianggap sebagai mengusap kepala meskipun hanya sedikit. Dengan kata lain, mengusap kepala meskipun cuma sedikit sepanjang itu dikatakan mengusap, maka dianggap cukup.

اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْقَدْرِ الْوَاجِبِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ ، فَذَهَبَ الْأَحْنَافُ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ مَسْحُ مِقْدَارِ النَّاصِيَةِ ، وَهُوَ رُبُعُ الرَّأْسِ . وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَكْفِي مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَسْحِ مِنَ الرَّأْسِ ، وَإِنْ قَلَّ

Artinya, “Para fuqaha berbeda pendapat tentang ukuran yang wajib dalam mengusap kepala. Madzhab Hanafi menyatakan bahwa yang wajib adalah mengusap seukuran jambul yaitu seperempat kepala. Madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan, seluruh kepala. Sedang Madzhab Syafi’i memandang bahwa membasuh kepala adalah cukup dengan sesuatu yang dianggap membasuh meskipun sedikit,” (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait, Darus Salasil, juz VIII, halaman 125).

Lantas bagaimana jika berwudhu dengan mengusap kepala sedikit saja tidak sampai seperempat karena bertaklid atau mengikuti Imam Syafi’i, kemudian menjalani shalat dengan menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah) bukan fisik Ka’bah (‘ainul ka’bah), karena mengikuti pendapat Abu Hanifah?

Dalam kasus seperti ini, para ulama berbeda pendapat. Salah satu pendapat menyatakan bahwa shalatnya sah. Alasannya adalah bahwa kedua imam yaitu Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tidak sepakat atas batalnya wudhu tersebut.

وَكَذَلِكَ إِذَا تَوَضَّأَ َوَمَسَّ بِلَا شَهْوَةٍ تَقْلِيدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَلَمْ يُدَلِّكْ تَقْلِيدًا لِلشَّافِعِيِّ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَاُتهُ بَاطِلَةٌ لِإتِّفَاقِ الْإِمَامَيْنِ عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ بِخِلَافِ مَا إِذَا كَانَ التَّرْكِيبُ مِنْ قَضِيَّتَيْنِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ذَلِكَ غُيْرُ قَادِحٍ فِي التَّقْلِيدِ كَمَا إِذَا تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ ثُمَّ صَلَّى إِلَى الْجِهَةِ تَقْلِيدًا لِأَبِي حَنِيفَةَ فَالَّذِي يَظْهَرُ صِحَّةُ صَلَاتِهِ لِأَنَّ الْإِمَامَيْنِ لَمْ يَتَّفِقَا عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ 

Artinya, “Begitu juga apabila seseorang berwudhu dan menyentuh seorang perempuan tanpa syahwat karena bertaklid kepada Imam Malik (tetapi) ia juga tidak menggosok dengan tangan karena bertaklid kepada Imam Syafi’i kemudian ia shalat, maka shalatnya batal kerena kedua imam (Imam Malik dan Imam Syafi’i) sepakat batal kesuciannya. Berbeda apabila formula yang lahir dari penggabungan dua pendapat (talfiq) dari dua kasus hukum (qadliyyah) yang berbeda, maka hal itu bukan sesuatu yang tercela dalam taqlid sebagaimana seseorang yang berwudhu dan membasuh sebagian kepalanya (kurang dari seperempat kepala) kemudian melakukan shalat menghadap arah Ka’bah (bukan menghadap ke fisik Ka’bah sebagaimana pandangan Madzhab Syafi’i, pent) karena bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah, maka dalam hal ini shalatnya adalah sah karena kedua imam tersebut tidak sepakat batal kesuciannya,” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Indonesia, Darul Kutub al-Islamiyyah, halaman 284).

Jika kita mengikuti pendekatan yang dikemukakan dalam kitab Fathul Mu’in di atas, maka setidaknya bisa ditarik kesimpulan bahwa mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa bersentuhan suami-istri tanpa penutup tidak membatalkan wudlu adalah diperbolehkan sepanjang tidak tidak dalam satu kasus hukum (qadliyyah).

Contoh yang satu qadliyyah seperti seseorang berwudhu dan ketika mengusap kepala tidak sampai seperempatnya karena mengikuti Imam Syafi’i, tetapi kemudian menyentuh istrinya tanpa penutup karena taklid kepada Imam Abu Hanifah. Dalam kasus ini menurut pendekatan di atas, tidak dibenarkan. Karena baik Imam Syafi’i maupun Imam Abu Hanifah menganggap batal wudhu tersebut.

Hal penting yang mesti kita pahami bersama dalam soal ini adalah jangan asal ambil pendapat karena ingin mengambil yang mudah-mudah saja karena hal itu tidak diperbolehkan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Gus Mus: Lulusan Pesantren Harus Jadi Manusia Yang Utuh

KH Ahmad Mustofa Bisri Sumber:  NU Online Jombang,  NU Online Para santri diharapkan mampu memahami segala persoalan yan...