Sumber: NU Jabar
Mayoritas pesantren tradisi terletak di pedalaman. Dari jalan raya yang bisa dilalui mobil, seorang santri masih harus berjalan kaki atau naik ojeg. Pesantren Al-Hidayah, Santiong, Cicalengka adalah pengecualian. Terletak di tepi jalan raya Cicalengka – Bandung, lalu lintas yang padat dan bising itu ternyata tidak menjadi gangguan bagi kekhusyukan ajengan dan santri dalam mempertahankan tradisi kajian kitab-kitab kuning. Bahkan di tengah lingkungan pesantren Santiong, kita seperti berada di “dunia lain”.
Mayoritas pesantren tradisi terletak di pedalaman. Dari jalan raya yang bisa dilalui mobil, seorang santri masih harus berjalan kaki atau naik ojeg. Pesantren Al-Hidayah, Santiong, Cicalengka adalah pengecualian. Terletak di tepi jalan raya Cicalengka – Bandung, lalu lintas yang padat dan bising itu ternyata tidak menjadi gangguan bagi kekhusyukan ajengan dan santri dalam mempertahankan tradisi kajian kitab-kitab kuning. Bahkan di tengah lingkungan pesantren Santiong, kita seperti berada di “dunia lain”.
Pepohonan yang rimbun dan aneka bunga yang menghiasi pekarangan pesantren, suasananya membuat kita kerasan. Air untuk keperluan santri pun sangat jernih dan tak pernah kering. Terlebih jika masuk ke rumah KH. Umar Basri, taman bunga di tengah rumah sungguh menyegarkan. Begitu pula taman di atas kolam kecil di halaman rumah KH. Amas Mansur, gemiricik airnya membuat hati kita nyaman.
Konon, pada masa ayahanda kedua ajengan itu, yakni almarhum KH. Emed Suhrowardi, lingkungan pesantren jauh lebih asri karena masih ada kolam-kolam ikan. Kini, sekalipun kolam sudah berganti rumah dan bangunan lain, karena penataannya yang apik, berada di sana hampir membuat kita lupa bahwa pesantren Santiong terletak di pinggir jalan raya yang berisik sepanjang siang dan malam.
Dalam peta pesantren tradisi di Jawa Barat, Pesantren Santiong Cicalengka, termasuk salah satu jugjugan para santri kelana. Pada masa Ajengan Eemed Suhrowardi, santri dari berbagai daerah berdatangan untuk tabarrukan mengaji kitab tafsir Jalalain. Cara Mama Santiong ini menerjemahkan kitab Jalalain (ngalogat) dirujuk sebagai satu standar, sebagaimana para santri merujuk Ajengan Utsman dari Pesantren Sadang, Wanaraja, Garut untuk pembacaan Alfiyyah dan Ajengan Choer Affandi dari pesantren Miftahul Huda Manonjaya untuk pembacaan Jauhar al-Tauhid.
Saat ini Pesantren Santiong diasuh oleh KH Umar Basri dan KH Amas Mansur. Kedua pengasuh masih mempertahankan Santiong sebagai pesantren tradisi dan tidak membuka sekolah umum. Kiai Umar Basri atau akrab disapa sebagai Ajengan Emon menegaskan, “Santri anu anakna teu jadi santri deui, eta santri anu kaduhung jadi santri.” Santri yang anaknya tidak jadi santri lagi, itu berarti ia menyesal pernah jadi santri.
Sekalipun Santiong kukuh mempertahankan tradisinya, sejumlah alumninya dapat melanjutkan ke pesantren di Timur Tengah, khususnya ke Yaman Selatan, yang mempunyai sistem pengajaran sebagaimana pesantren tradisi di Indonesia. Di antaranya ialah Ribath Al-Ahqaf yang diasuh oleh Habib Umar bin Hafizh.
“Beberapa santri kami ada yang belajar di Yaman,” kata KH. Amas Mansur. “Kami mendorong mereka agar mendalami kajian kitab yang pokok, misalnya dalam fiqh Syafi’iyah mereka bisa langsung mempelajari karya-karya Imam Syafi’i.” Menurutnya, yang banyak dikaji di pesantren di tradisi selama ini lebih banyak kitab susunan murid Imam Syafi’i atau tokoh mazhab Syafi’iyah. Diakui ajengan Amas, peluang untuk kajian kitab-kitab pokok di Yaman jauh lebih terbuka dan yang tak kalah penting, ada ahli yang membimbing santri sekaliber Habib Umar.