(via hiraan.com)
Sumber: NU Online
Setiap ibadah ada beberapa kesunahan-kesunahan yang perlu dilakukan. Kesunahan-kesunahan ini selain menambah kualitas ibadah yang dilakukan, juga menambah semangat ibadah. Sebagaimana namanya, sunah, maka dalam istilah ushul fikih, jika dilakukan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak disiksa.
Di antara ibadah-ibadah yang memiliki kesunahan adalah azan. Bagaimana tidak bernilai ibadah, pahala dan keutamaan azan begitu besar. Bahkan dijamin dalam hadits, bahwa manusia dan jin dan makhluk lain yang mendengar suara azan akan menjadi saksi di hari kiamat kelak.
Artinya, “Karena sesungguhnya tidak ada manusia, jin, atau suatu hal lain yang mendengar panjangnya suara muadzin kecuali ia menjadi saksi bagi muadzin tersebut di hari kiamat,” (HR Bukhari).
Adapun sunah-sunah yang bisa dilakukan para muadzin sebagaimana disebutkan Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam Kitab Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi’i adalah sebagai berikut:
Pertama, menghadap kiblat. Mengapa disunahkan menghadap kiblat? Karena kiblat adalah arah yang paling baik dan juga arah yang paling mulia. Sebagaimana dikatakan oleh ulama salah maupun khalaf.
Kedua, suci dan terbebas dari hadats kecil maupun besar. Dimakruhkan bagi muadzin yang masih memiliki hadats. Terlebih bagi muadzin yang mengumandangkan azan dalam keadaan junub sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud:
Artinya, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Saya memakruhkan menyebut nama Allah SWT kecuali dalam keadaan suci,’ atau disebutkan dengan kata ‘ala thaharatin.’”
Ketiga, dengan berdiri. Hal ini didasarkan pada perintah Rasul SAW kepada Bilal agar berdiri terlebih dahulu.
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan azan untuk shalat.’”
Kelima, menengok ke kanan (tidak bergerah seluruh badan, hanya kepala saja) saat mengucapkan ‘Hayya alas shalah’, dan menengok ke kiri saat mengucapkan ‘Hayya alal falah’ sebagaimana disebutkan Bukhari:
Artinya, “Sesungguhnya Abu Juhaifah RA berkata, ‘Aku melihat Bilal mengumandangkan azan, kemudian aku mengamati mulutnya ke arah sini dan sini ketika azan kanan dan kiri: ‘Hayya alas shalah dan hayya alal falah.’’”
Keenam, mengulang azan, yakni seorang muadzin mengucapkan kedua syahadat secara lirih terlebih dahulu baru kemudian mengucapkannya dengan keras. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Mahdzurah dalam Sahih Muslim.
Ketujuh, tatswib, yakni mengucapkan “As-Shâlatu khairun minan naum” setelah mengucapkan “Hayya alal falah” ketika azan shalat subuh.
Kedelapan, disunahkan dikumandangkan oleh orang yang memiliki suara bagus agar menarik simpati dari masyarakat dengan harapan masyarakat tersebut tergerak untuk menuju masjid sebagaimana sabda Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Dalam pesan Rasul tersebut disebutkan bahwa Bilal diperintah untuk azan karena ia memiliki suara yang kuat dan indah.
Kesembilan, disunahkan muadzin adalah orang yang berakhlak baik dan terpercaya. Hal ini karena mempengaruhi kepercayaan masyarakat apakah memang benar-benar sudah masuk waktu shalat atau belum.
Kesepuluh, tidak berlaku tamthit (mencaci dan merendahkan azan), yakni dengan memanjangkan bacaan azan terlalu panjang dan melagukan bacaan azan seperti nyanyian. Bahkan hal ini dimakruhkan.
Kesebelas, disunahkan azan dua kali, yakni ketika sebelum masuk waktu fajar (shalat subuh) dan sesudah masuk waktu fajar.
Keduabelas, bagi yang mendengarkan azan, disunahkan untuk diam, khusyuk dan mengikuti serta menirukan bacaan azan tepat setelah muadzin. Kecuali ketika “hayya alas shalah dan hayya alal falâh,” maka disunahkan mengucapkan “lâhaula wa lâ quwwata illâ billâh.”
Ketiga belas, membaca doa dan shalawat kepada Rasul SAW setelah azan berikut doanya:
Allâhumma Rabba hâdzihi -da‘watit tâmmati, wash shalâtil-qâimah, âti sayyidanâ Muhammadanil washilah wal fadhîlah, wad darajatar rafî’ah wab ’atshu maqâman mahmûdanil ladzî wa’adtah.
Artinya, “Ya Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, karuniakanlah Nabi Muhammad wasilah (tempat yang luhur) dan kelebihan serta kemuliaan dan derajat yang tinggi dan tempatkanlah dia pada kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan.”
Sedangkan muadzin disunahkan untuk melirihkan bacaan doa dan shalawatnya.
Artinya, “Muadzin membaca shalawat dan doa dengan suara yang lebih lirih dari suara ketika azan serta terpisah setelah azan. Sehingga orang-orang tidak mengira bahwa doa dan shalawat yang dibaca tersebut bagian dari lafaz azan,” (Lihat Mustafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafii, [Damaskus: Darul Qalam, 1992] halaman 119). Wallahu a’lam.
Di antara ibadah-ibadah yang memiliki kesunahan adalah azan. Bagaimana tidak bernilai ibadah, pahala dan keutamaan azan begitu besar. Bahkan dijamin dalam hadits, bahwa manusia dan jin dan makhluk lain yang mendengar suara azan akan menjadi saksi di hari kiamat kelak.
فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Karena sesungguhnya tidak ada manusia, jin, atau suatu hal lain yang mendengar panjangnya suara muadzin kecuali ia menjadi saksi bagi muadzin tersebut di hari kiamat,” (HR Bukhari).
Adapun sunah-sunah yang bisa dilakukan para muadzin sebagaimana disebutkan Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam Kitab Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi’i adalah sebagai berikut:
Pertama, menghadap kiblat. Mengapa disunahkan menghadap kiblat? Karena kiblat adalah arah yang paling baik dan juga arah yang paling mulia. Sebagaimana dikatakan oleh ulama salah maupun khalaf.
Kedua, suci dan terbebas dari hadats kecil maupun besar. Dimakruhkan bagi muadzin yang masih memiliki hadats. Terlebih bagi muadzin yang mengumandangkan azan dalam keadaan junub sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud:
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: كَرَهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ
Artinya, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Saya memakruhkan menyebut nama Allah SWT kecuali dalam keadaan suci,’ atau disebutkan dengan kata ‘ala thaharatin.’”
Ketiga, dengan berdiri. Hal ini didasarkan pada perintah Rasul SAW kepada Bilal agar berdiri terlebih dahulu.
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: ياَ بِلَالُ قُمْ فَنَادِ لِلصَّلَاةِ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan azan untuk shalat.’”
Kelima, menengok ke kanan (tidak bergerah seluruh badan, hanya kepala saja) saat mengucapkan ‘Hayya alas shalah’, dan menengok ke kiri saat mengucapkan ‘Hayya alal falah’ sebagaimana disebutkan Bukhari:
أن أبا جحيفة رضي الله عنه قال: رأيت بلالاً يؤذن، فجعلت أتتبع فاه هنا وهنا بالأذان يميناً وشمالاً: حيى على الصلاة حيى على الفلاح
Artinya, “Sesungguhnya Abu Juhaifah RA berkata, ‘Aku melihat Bilal mengumandangkan azan, kemudian aku mengamati mulutnya ke arah sini dan sini ketika azan kanan dan kiri: ‘Hayya alas shalah dan hayya alal falah.’’”
Keenam, mengulang azan, yakni seorang muadzin mengucapkan kedua syahadat secara lirih terlebih dahulu baru kemudian mengucapkannya dengan keras. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Mahdzurah dalam Sahih Muslim.
Ketujuh, tatswib, yakni mengucapkan “As-Shâlatu khairun minan naum” setelah mengucapkan “Hayya alal falah” ketika azan shalat subuh.
Kedelapan, disunahkan dikumandangkan oleh orang yang memiliki suara bagus agar menarik simpati dari masyarakat dengan harapan masyarakat tersebut tergerak untuk menuju masjid sebagaimana sabda Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Dalam pesan Rasul tersebut disebutkan bahwa Bilal diperintah untuk azan karena ia memiliki suara yang kuat dan indah.
Kesembilan, disunahkan muadzin adalah orang yang berakhlak baik dan terpercaya. Hal ini karena mempengaruhi kepercayaan masyarakat apakah memang benar-benar sudah masuk waktu shalat atau belum.
Kesepuluh, tidak berlaku tamthit (mencaci dan merendahkan azan), yakni dengan memanjangkan bacaan azan terlalu panjang dan melagukan bacaan azan seperti nyanyian. Bahkan hal ini dimakruhkan.
Kesebelas, disunahkan azan dua kali, yakni ketika sebelum masuk waktu fajar (shalat subuh) dan sesudah masuk waktu fajar.
Keduabelas, bagi yang mendengarkan azan, disunahkan untuk diam, khusyuk dan mengikuti serta menirukan bacaan azan tepat setelah muadzin. Kecuali ketika “hayya alas shalah dan hayya alal falâh,” maka disunahkan mengucapkan “lâhaula wa lâ quwwata illâ billâh.”
Ketiga belas, membaca doa dan shalawat kepada Rasul SAW setelah azan berikut doanya:
اَللّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ القّائِمَةِ، آتِ سَيِّدَنَا مُحَمّداً الوّسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَة، وَابْعَثْهُ مَقَاماً مَحْمُوْداً الذِّي وَعَدْتَهُ
Allâhumma Rabba hâdzihi -da‘watit tâmmati, wash shalâtil-qâimah, âti sayyidanâ Muhammadanil washilah wal fadhîlah, wad darajatar rafî’ah wab ’atshu maqâman mahmûdanil ladzî wa’adtah.
Artinya, “Ya Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, karuniakanlah Nabi Muhammad wasilah (tempat yang luhur) dan kelebihan serta kemuliaan dan derajat yang tinggi dan tempatkanlah dia pada kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan.”
Sedangkan muadzin disunahkan untuk melirihkan bacaan doa dan shalawatnya.
ويقول المؤذن الصلاة على النبي - صلى الله عليه وسلم - والدعاء بصوت أخفض من الأذان ومنفصل عنه، حتى لا يتوهم أنها من ألفاظ الأذان.
Artinya, “Muadzin membaca shalawat dan doa dengan suara yang lebih lirih dari suara ketika azan serta terpisah setelah azan. Sehingga orang-orang tidak mengira bahwa doa dan shalawat yang dibaca tersebut bagian dari lafaz azan,” (Lihat Mustafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafii, [Damaskus: Darul Qalam, 1992] halaman 119). Wallahu a’lam.